Memahami Esensi Pengesaan Wujud Allah Bagi Ahli Ma'rifah

Saudaraku ketahuilah, bahwa sekalian mereka yang Allah SWT. tempatkan di bawah derajat ‘arif, diberikan pemahaman akan "Allah tidak sama dengan mahkluk, terpisah tidak menyatu dengan makhluk, tetapi sangat dekat dengan makhluk".  Inilah makam mereka yang belum dima’rifahkan kepadaNya.  Namun demikian, dengan kemurahanNya diampuni dosa-dosanya, diridhai dan dicintai, karena Allah SWT yang menempatkan mereka pada makam tersebut.  Mudah-mudahan Allah membukakan pintu ma’rifahNya, sehingga kita mengenal diri, mengetahui ditingkatan (Makam) mana Allah S.W.T. menempatkan kita.   Perhatikanlah! perkataan “sama” dan “beda”, “bersatu” dan “berpisah”, “dekat” dan “jauh”.  Kata-kata tersebut menunjukkan adanya eksistensi dua wujud atau lebih.  Bagi kaum A'rifin  mengakui adanya keberadaan wujud lain selain wujud Allah yang esa adalah  sebuah penyekutuan yang nyata atas zat Allah SWT. Kenapa demikian?, karena tidak sah bagi makhluk yang baharu menyebut dirinya memiliki wujud, makna wujud berdiri sendiri dan terpisah dari wujud Allah SWT.  Walaupun terlihat secara lahiriah begitu adanya, itu adalah sebuah hijab bagi yang belum dima'rifahkan, bukan hakikat sebenar disisi Allah SWT.
  
Wahai saudaraku, adanya alam ini dengan adanya Allah, ia tidak dengan sendirinya ada. Wajib kita ketahui bahwa, "Tidak ada satu unsur atau satu atompun yang menyertai makhluk dalam proses penciptaannya, semuanya dari diri Allah semata, tidak menggunakan bahan baku dan tidak memerlukan alat bantu dalam menciptakannya". Wajib pula kita ketahui bahwa "Dahulu sebelum segala sesuatu ada, hanya Allah SWT sendirilah yang ada, tidak ada zat lain atau unsur lain walaupun sebesar zarrah menyertai keberadaanNya, dan akan tetap begitu sampai kapanpun", inilah yang dimaksudkan oleh Syekh Juned Al-Baghdadi dengan mengatakan " Ada Allah dan tiada sertaNya sesuatupun, Ia sekarang ini seperti adanya dahulu itu jua". Hanya dari pancaran zatNya sajalah sesuatu ada, karena Allah maha kuasa dan maha berkehendak terhadap yang demikian.  
Selanjutnya setelah makhluk ada, Allah yang menggerakkannya baik lahir maupun batin, tanpa bantuan sesiapa. Walaupun ada malaikat, tetapi malaikat tersebut Allah jua yang menciptakannya, memerintahkannya dan menggerakkannya, geraknya gerak Allah bukan gerak malaikat. Makhluk tidak terpisah dengan wujud Tuhannya, mereka sangat dekad dengan Tuhan melebihi urat lehernya, kenapa bisa sedekat itu?, jawabnya karena memang makhluk dan Allah adalah wujud yang satu. Jangan salah paham!, bukan kebersatuan wujud “dulu terpisah sekarang bersatu”, bukan demikian!, tetapi memang sedari dulu makhluk adalah bagian dari wujud yang satu yaitu wujud Allah SWT, hanya saja bagi orang awam tidak Allah berikan bagi mereka akan kesadaraan yang demikian, karena bukan untuk mereka ma’rifah wujud Allah peruntukkan. 

Adapun perkataan “makhluk” yang seolah-olah memberi pemahaman memiliki wujud yang berdiri sendiri, itu hanya bagi mereka yang belum ‘arif, belum mengenal dirinya, yang masih beranggapan dirinya adalah wujud yang terpisah dari wujud Allah. Mereka masih berpikir "Diri ini, inilah diriku".  Oleh karenanya Nabi SAW bersabda "Man a' rafa nafsahu faqad a'rafa rabbahu". Artinya: Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.  
Wahai saudaraku yang dicintai, Allah SWT. itu meliputi segala sesuatu, walau pada penglihatan lahiriah makhluk memiliki wujud, tetap saja pada hakikatnya adalah kosong dan hamba, semua yang terlihat diri Allah SWT., semua yang terlihat sesuatu yang tidak dengan qiyamuhu binafsih adanya, "Segala sesuatu diri Allah dan dari Allah SWT", mungkin inilah maksud Qutub Syekhul Akbar Abu Muhyeddin Ibnu A'rabi dengan pahaman keesaan wujudnya di dalam kitab Futuhatul Makkiyyah atau dalam kitab Fushul Hikam. 
Saudaraku, bagi mereka yang masih Allah SWT tempatkan di bawah derajat ‘Arif, akan sangat sulit untuk dapat memahami hal tersebut di atas, karena merasai bagaimana ma’rifah yang khusus itu hanya bagi mereka ‘Arifin. Dan tidak penting bagi yang lain mengetahuinya,  karena tidak untuk makam yang lain ilmu ini dibahas. Tapi paling tidak ada hikmah yang dapat dipetik bahwa ilmu Allah itu seperti laut tak berujung, hanya setetes Allah berikan kepada kita, itupun kepada siapa yang dikehendakiNya dengan kadar yang berbeda-beda. Sehingga ilmu itu bertingkat-tingkat dan setiap tingkatan tertentu hanya bagi makam tertentu.

Bagi saudaraku sekalian yang sudah dima’rifahkan oleh Allah SWT, para A'rifin yang telah sempurna, dengan kehendakNya dapat merasakan langsung dalam batin bagaimana hanya Allah yang wujud, tanpa terlebih dahulu perlu mendengar hujjah atau mendapatkan dalil seperti di atas. Mereka orang pilihan, dengan majdub dibukakan pintu ma'rifah secara khusus, sehingga dengan zuuq merasakan dan mengetahuinya. Sebagian dari 'Arifin ada yang terlebih dahulu diperjalankan oleh Allah SWT secara intens dalam Thariqah Sufi melalui proses penempaan diri dengan tahapan-tahapan amalan batiniah seperti Tazkiyah, Muraqabah, Riyadhah Mujahadah, Mahabbah, Zuhud, Tawakkal dan lain sebagainya. Keseluruhannya berguna sebagai bekal untuk melalui fase sebagaimana yang telah dibagi oleh Imam Ghazali r.a kepada Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. 
Wahai saudaraku, Allah SWT menghijab mereka yang ditempatkan di derajat bawah dengan 2 hijab;   Pertama, Hijab Kedudukan.  Perbedaan kedudukan yang terpaut sangat jauh menjadi hijab bagi mereka yang berada di bawah derajat ‘arifin.  Sebagai ilustrasi,  bila seorang murid sekolah dasar mencoba mempelajari isi dan menggali maksud dari sebuah disertasi milik mahasiswa strata tiga (S3), kemugkinan besar ia akan mendapati  kesulitan untuk dapat membuat dirinya paham. 

Mungkin di sekolahnya ia murid terpintar, selalu mendapatkan rangking pertama yang sehingga mengundang kekaguman guru, orang tua dan temannya. Namun ilmu yang diperoleh di sekolahnya tersebut tidak akan banyak berguna bila digunakan untuk memahami isi sebuah disertasi. Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang belum ma'rifah pada saat mencoba memahami perkataan para ‘Arifin.  Allah SWT. menempatkan mereka awam sangat jauh dengan ‘Arifin, dengan kadar ma’rifah yang sangat tidak memungkinkan baginya untuk dapat memahami perkataan para ‘Arifin;   Kedua Hijab Ilmu.  Allah SWT menghijab mereka yang belum dima’rifahkan dengan hijab ilmu.  Ketiadaan ilmu ma’rifah menjadikan mereka terhijab dalam memandang wujud Tuhannya.  Oleh karenanya sangat dapat dimengerti apabila mereka awam mendapati kesulitan untuk bisa memahami lafadz-lafadz ketauhitan yang keluar dari para ‘Arifin.  lafadz “tiada wujud selain wujud Allah, karena hakikat yang selain Allah juga Allah”, atau dalam istilah yang dipopulerkan oleh Ibnu Taymiyyah disebut “Wahdatul Wujud”, adalah pernyataan kaum ‘Arifin yang Allah SWT telah tempatkan mereka dipuncak ma’rifah kepadaNya. Ia membukakan pintu pengetahuan atas diriNya kepada mereka. 

Bagi orang awam seperti Ibnu Taymiyyah jelas tidak akan pernah dapat memahaminya.  Karena untuk dapat menafsirkan dengan benar perkataan mereka ‘arif, diperlukan ma’rifah akan Allah SWT terlebih dahulu dengan ma’rifah yang khassah, ditambah dengan ilmu mukasyafat dan laduni.  Tidak cukup hanya dengan ma’rifah secara ‘am saja. 
Saudaraku, dengan kehendakNya tanpa cahaya ma’rifah, kering dari ilmu laduni dan mukasyafah, ada dari mereka awam memaksakan diri untuk menafsirkan maksud lafadz “tiada wujud selain wujud Allah, karena hakikat yang selain Allah juga Allah”.  Dengan keterbatasan ilmu, mereka awam yang pada umumnya adalah para fuqaha’ menafsirkan maksud lafadz tersebut sebagai berikut; 
1. Bahwa mereka ‘Arifin telah menyatakan diri bersatu dengan Tuhan; 
2. Wujud Tuhan masuk dan menjelma kedalam wujud mereka;  
3. Mereka telah menganut paham Pantheisme, dengan pemahaman bahwa “tiada wujud selain wujud alam”, semua berasal dari wujud yang satu, yaitu wujud alam. karena alam ada dan berevolusi dengan sendirinya, maka Tuhan adalah alam itu sendiri.  Tuhan adalah alam dan alam adalah mereka.
   
Tafsiran yang sedemikian rupa seperti di atas, jauh dari maksud sebenar mereka ‘Arifin, tidak satupun yang mengena.  Apa sebenarnya yang dimaksud oleh ‘Arifin dalam lafadz ketauhitan di atas?,  dan mengapa kalangan selain mereka selalu salah dalam menafsirkannya?.  Untuk menjawabnya mari kita bahas satu persatu point 1,2 dan 3 tersebut.
  
Wujud Makhluk Telah Bersatu Dengan Wujud Tuhannya
Wahai Saudaraku, dalam pandangan lahiriah alam semesta dan seluruh isinya merupakan wujud tersendiri yang terpisah dari wujud Allah SWT.  Dan wajib pada akal mereka yang awam seperti itu, mustahil pada akal apa yang terlihat begitu nyata tidak memiliki wujud sama sekali.  Orang awam tidak dapat mencerna apabila mendapati khabar bahwa esensi wujud alam semesta merupakan bagian dari wujud Tuhan.  Allah SWT menghijab mereka dari diriNya.  Wajib pada akal mereka ada dua kewujudan yaitu, wujud makhluk dan wujud Tuhan. Apabila mereka mendapati ada dari ‘Arifin yang mengatakan  alam semesta beserta seluruh isinya adalah bagian dari wujud yang satu yaitu wujud Allah SWT, maka mereka  awam dengan segera menafsirkan menganggap mereka ‘arif telah menyangka diri bersatu dengan wujud Tuhannya. 

Allah SWT memberikan asumsi kepada orang awam bahwa jika para ‘Arifin menyatakan “hanya ada satu wujud di alam realitas”, maka pastilah maksudnya wujud mereka telah bersatu dengan wujud Tuhan atau sebaliknya wujud Tuhan telah bersatu dengan wujud mereka, hal ini sangat tidaklah mungkin dalam pengetahuan mereka awam.  Dan sebenarnya juga sangat tidak mungkin dalam pengetahuan mereka ‘Arifin. Bagi ‘Arifin bila menyebutkan hanya ada satu wujud yang haq, maka benar-benar satu wujud saja, yaitu wujud Allah SWT.  Bukan maksud mereka mula-mula ada dua wujud, wujud makhluk dan wujud Tuhan kemudian bergabung menjadi satu, bukan demikian yang dimaksudkan. Maksud kesatuan wujud bagi ‘Arifin adalah pernyataan atas kesadaran tauhid mereka terhadap kesatuan yang utuh, tidak bercerai dan terbagi sedikitpun wujud Allah kepada yang lain, karena makhluk sekalipun adalah bagian dari wujud Allah yang satu.   
Esensi makhluk tidak memiliki wujud yang hakiki, karena tidak dengan kiyamuhu binafsih adanya mereka. Setiap yang tidak berdiri dengan sendirinya tidak sah menyebut diri memiliki wujud, dan setiap yang tidak memiliki wujud pastilah tidak berdiri sifat apapun pada dirinya. Kalau begitu kenyataannya maka wujud siapakah yang terlihat, adakah yang berdiri dengan sendirinya selain Allah?.  Disinilah Allah menjadikan kesalahan sebagai hijab bagi orang awam dalam menilai perkataan ‘Arifin.  Mereka telah salah dalam menterjemahkan makna ittihad  yang  sebenar menurut mereka ‘Arifin. Mengakui eksistensi makhluk sebagai wujud yang berdiri sendiri dan terpisah dari wujud Allah, adalah bertentangan dengan apa yang telah Allah SWT perlihatkan kepada mereka ‘Arifin. Dan sebaliknya bagi yang masih Allah SWT tempatkan di derajat bawah tidak mengapa demikian, karena Allah SWT belum membukakan pintu ma’rifah kepada mereka.   
Wujud Tuhan Telah Masuk dan Menjelma Kedalam Wujud Makhluk  
Saudaraku, terkadang mereka awam menyamakan ‘Arifin dengan kaum nasrani, karena melihat ada kesamaan diantara keduanya.  Orang nasrani beriman bahwa Isa Putra Mariam sebagai jelmaan Tuhan dalam wujud manusia.  Mereka meyakini  wujud Tuhan telah masuk kedalam wujud makhluk yang bernama Isa.  Kemudian mereka awam dengan asumsi yang keliru, menyamakannya dengan melihat hal yang sama juga terjadi pada mereka ‘Arifin. 

Ketika mendengar hanya satu wujud saja yang ada, yaitu wujud Allah SWT, maka mereka berpikir itu mustahil.  Lalu bertanya bagaimana dengan wujud makhluk? padahal mereka memilki wujud lahiriah, walaupun baharu tapi mempunyai bentuk dan rupa yang sempurna. Allah SWT menghijab mereka awam dengan memustahilkan hal tersebut pada akal. Kemudian mereka menginterpretasi perkataan ‘arifin bahwa maksud atas hanya satu wujud saja yang ada adalah bahwa Allah menempati dan menjelma ke dalam seluruh wujud makhluk, sehingga seluruh makhluk menjadi satu kesatuan yang utuh dalam satu wujud, yaitu wujud Allah SWT. Awam menilai wujud makhluk memiliki esensi tersendiri sebagai salah satu wujud, mereka meyakini adanya eksistensi makhluk sebagai wujud terpisah dari wujud Allah SWT. Ketika pintu kesadaran dibuka, mereka ‘Arifin diperlihatkan dan merasakan bahwa seluruh alam dan isinya adalah bagian dari wujud yang satu, wujud Allah SWT.  Semua gerak lahir dan batin adalah gerakNya. 

Esensi makhluk bukanlah sebuah wujud hakiki yang berdiri sendiri, ia bagian dariNya.  Semua  gerak, diam dan kalam adalah gerak, diam dan kalam Allah.  Apapun realitasnya adalah diri Allah SWT.  Jika ada dari ‘Arifin yang melafadzkan “ana al-haq”.  Maksud dari perkataan ana tersebut adalah diri Allah, bagi menguatkan identitas Allah SWT (Allah yang Haq) sebagai pernyataan bahwa hanya ada satu wujud saja yang haq karena yang selain dari  Allah juga Allah, termasuk diri mereka ‘Arifin.  Mereka tidak merasakan lagi ada wujud, ada kalam dan ada gerak diri.  Ketiga melafadzkan ana al haq, sang ‘arif merasakan bahwa itu adalah gerak hati dan lafadz kalam dariNya.  Karena memang  tidak ada gerak dan kalam selain gerak dan kalamNya. Dan tidak akan pernah bergerak hati dan terlafadz kalam jika Allah tidak menghendaki akan  lafadz kalam tersebut.  

Jadi maksud ana al haq  adalah dari dan atas diriNya.  Allah SWT menyatakan melalui lisan ‘Arifin,  bahwa hanya satu wujud saja yang haq, yaitu wujud diriNya.  Allah SWT menjadikan kalimat ana al haq sebagai pernyataan pengesaan kepada diriNya dari mereka ‘Arifin ketika sampai dipuncak ma’rifah kepadaNya. Allah SWT mema’rifahkan mereka ‘arifin akan diriNya dengan ma’rifah yang sempurna, mereka tidak melihat dan merasakan lagi adanya identitas diri dan identitas makhluk lain. Seorang hamba yang telah Allah tempatkan pada derajat ‘Arifin, tidak memiliki kapasitas untuk mengakui  adanya wujud diri yang terpisah dari wujudNya.  Allah SWT menempati dan menjelma kedalam wujudnya sendiri, bukan kedalam wujud makhluk, karena esensi makhluk tidak memiliki wujud. 

Semua adalah wujud Allah yang satu, yang tidak berbagi sedikitpun kepada yang lain. Lebih jelasnya maksud perkataan menjelma disini adalah sang ‘arif merasakan dari Allah mereka berasal, dilahirkan, dibesarkan, diberi penglihatan yang takluk dari penglihatanNya,  diberi pendengaran yang takluk dari pendengaranNya, diberi pengetahuan yang takluk dari ilmuNya dan sebagainya. Yang kesemuanya itu datang dari diriNya, tidak satu unsurpun yang ada pada makhluk datangnya  dari diri makhluk. 

Apapun yang mereka lihat, dengar dan ketahui itulah penglihatan, pendengaran dan pengetahuan dari jelmaan kehendak penglihatan, pendengaran dan pengetahuan  Allah SWT dalam diri mereka.  Allah SWT menggerakkan makhluk kemanapun yang Ia kehendaki, bukan kemanapun yang makhluk kehendaki, karena hakikat makhluk tidak mempunyai wujud, kehendak dan kuasa. Gerak dan kalam makhluk adalah gerak dan  kalam dariNya.  Apapun yang Allah SWT kehendaki atas makhluk akan menjelma  atau kelihatan pada diri makhluk. Kesadaran atas realitas tauhid inilah yang dimaksudkan dengan Hulul  yang  sebenar disisi mereka ‘Arifin.   
Tiada wujud selain Wujud Alam (Pantheisme)   
Wahai saudaraku, ketika para filsuf barat gagal mendapati keberadaan Tuhan, mereka menyatakan diri pantheisme atau sikap yang menyatakan ketiadaan Tuhan.  Plato mengisyaratkan dalam pendapatnya mengenai keTuhanan, bahwa “Tidak ada yang namanya wujud Tuhan sebagai pencipta dan pengatur sekalian alam, yang ada hanya wujud alam saja, secara mandiri mengatur dan berkembang dengan sendirinya”.  Dengan hanya memakai otak sebagai instrumen pemikir, para filsuf sangat mengagung-ngagungkan kekuatan pikiran dalam menela’ah dan menilai sesuatu.  Karena tidak menemukan adanya tanda-tanda kewujudan Tuhan, mereka dengan cepat penyimpulkan hanya ada satu wujud saja di alam realitas, yaitu wujud alam.  Kalaupun ada yang mengatur maka alam yang mengatur dirinya sendiri, intinya alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam. 

Para filsuf ini dinamakan juga penganut paham wahdatul wujud, karena mengakui hanya satu wujud yang ada, yaitu wujud alam.  Dalam dunia islam ada yang menyangka ketika ‘Arifin mengatakan bahwa yang selain Allah juga Allah,  maka mereka awam menilai ‘Arifin mengikuti dan telah menjadi pengikut ajaran pantheisme. Sehingga menyamakannya dengan plato, socrates dan lainnya pemikir barat.  Padahal sama sekali tidak sama dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
  
1. Maksud wahdatul wujud bagi mereka pantheisme, bahwa hanya ada satu wujud saja di alam realitas ini, yaitu wujud alam itu sendiri, yang mengatur dan berevolusi dengan sendirinya.  Sedangkan maksud bagi ‘Arifin, alam dan seluruh isinya adalah merupakan satu kesatuan utuh dari  wujud Allah yang satu.
2. Perbedaan metoda dan sitematika. Para filsuf seperti plato, aristoteles atau yang lainnya menggunakan indera mereka yang terbatas dalam melihat dan mengamati segala fenomena. Kemudian berpikir, menganalisa dan mengambil kesimpulan sebagai hasil dari buah pikiran, Allah SWT mengarahkan mereka kedalam kegelapan.  Berbeda ketika sang ‘Arif melafadzkan kalimat tauhid tertentu, Allah SWT menuntunnya  kedalam kebenaran. Lafadz yang terucap semata-mata dari penyingkapan hakekat  disisiNya dan nur ilmu yang Allah SWT tanamkan dalam batin, bukan hasil pemikiran mereka karena ‘Arifin bukan filsuf. 
3. Para filsuf barat Allah perjalankan mereka dalam kekafiran. Dan sebagaimana sudah kita ketahui,  para ‘Arifin  Allah perjalankan mereka dalam kema’rifatan.  Filsuf dan ‘Arifin masing-masing dari mereka mewakili gelapan dan cahaya.  
Wahai Saudaraku, uraian di atas adalah satu langkah kecil dalam mendekatkan pemahaman terhadap lafadz yang terucap dari mereka ‘Arifin.  Bagaimanapun bagusnya bahasa sebuah penjelasan, sistematik dan komuniktif  dalam penyampaian, tetap saja tidak sepenuhnya dapat memberi gambaran bagaimana ma’rifah itu sebenarnya.  Karena kesempurnaan ma’rifah kepada Allah SWT sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, tetapi hanya dapat dirasakan.  Awam dan ‘Arifin adalah dua realitas yang berbeda.  Ikan di laut tidak akan pernah dapat hidup didaratan, dan sebaliknya penghuni daratan tidak akan pernah dapat hidup di dasar lautan, itulah tamsilannya.  

Terkadang untuk mendekatkan memahaman kepada mereka awam, para ‘Ulama Sufi sering menggunakan terminalogi bayangan dan  wujud pinjaman guna menjelaskan hubungan antara Tuhan dan makhluk. Namun itu dalam batas paling maksimal yang dapat disampaikan kepada mereka awam, yang pada hakikatnya belum mengena dari subtansi hakikat ma’rifah.  Selama Allah SWT  memberi pemahaman kepada mereka awam bahwa makhluk juga memiliki wujud yang terpisah dari wujudNya, maka selama itupula mereka awam dihijab untuk tidak dapat memahami apapun perkataan dari mereka ‘Arifin.   Begitulah Allah SWT menghijab siapa saja yang belum dikehendaki ma’rifah kepadaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar