Memahami Perbedaan Derajat Ma'rifah di Sisi Allah 'Azza Wa Jalla

Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa Allah SWT. memilih dan membagi manusia kepada 5 derajat ma’rifah disisiNya, jahil, awam, salik, wali dan ‘arif.  Kita diperjalankanNya dari derajat yang satu kepada derajat yang lain, dari jahil kepada awam, dari awam kepada salik dan dari salik kepada muqarrabin, wali dan ‘arifin.  Adakalanya  Allah SWT mengangkat langsung seseorang ke derajat tertentu, dan adakala Allah tetapkan pada derajat semula.  Allah menempatkan kita pada derajat yang berbeda dan mema'rifahkan kita dengan kadar ma'rifah yang berbeda.
A. Pembagian Derajat Ma’rifah    
Ma'rifah kepada Allah diawali dengan satu kondisi dimana seseorang atas kemurahanNya dapat merasakan dan menyaksikan adanya eksistensi Allah SWT sebagai penggerak dalam setiap isyarah dan perbuatan. Kondisi ini dirasakan dengan kadar yang berbeda disetiap derajat ma'rifah, sesuai dengan jarak kedekatan yang Allah inginkan antara diriNya dengan seoràng hamba. Semakin tinggi derajat ma'rifah seseorang semakin ia merasakan kehadiran Allah SWT dalam kehidupannya.  
1. Derajat Jahil
Orang-orang yang Allah tempatkan pada derajat ini tidak menyadari sama sekali adanya kehadiran dan keikutsertaan Allah SWT sebagai Tuhan yang mengatur dan mengendalikan kehidupan. Mereka meyakini keterlibatan Tuhan dalam kehidupan sedikit sekali, hanya pada awal penciptaannya saja. Setelah alam dan seluruh isinya ada, Tuhan tidak lagi terlibat didalamnya. Alam dan seluruh isinya, termasuk manusia didalamnya akan berkembang  dan berevolusi dengan sendirinya.   
2. Derajat Awam
Derajat ini adalah derajat orang mukmin pada umumnya, sebahagian besar umat manusia Allah tempatkan dalam derajat ini. Dimana dalam kehidupan mereka selalu Allah SWT perjalankan pada jalan berpegang kepada amal, baik amal dirinya atau yang selainnya. Mereka meyakini hanya 50% saja keterlibatan Tuhan dalam kehidupan, selebihnya hanya amal-amal manusia yang menentukannya. Karena orang-orang awam berpegang kepada amal, maka Allah selalu menyibukkannya dengan ilmu untuk memperbagus amal.

Mereka memadang amal manusia sebagai faktor penentu keselamatan di dunia dan akhirat. Hal tersebut menjadikan pengharapan mereka kepada Allah menjadi fluktuatif karena dipengaruhi oleh jumlah amal kebaikan yang mereka kerjakan.  Allah SWT. menjahilkan mereka, ditanamkan kedalam batinnya anggapan bahwa segala kebaikan dan keburukan yang Allah tetapkan atas dirinya disebabkan oleh amal-amal mereka sebelumnya. Bila amal taat mereka kepada Allah banyak, maka harapnya kepada Allah banyak, dan sebalikya jika amal taatnya sedikit, maka harapnya kepada Allah juga sedikit.

Saudaraku, orang  awam meng’itiqadkan bahwa kehendak dan kuasa manusia mendahului kehendak dan kuasa Tuhan, Allah SWT berbuat sesuatu karena terlebih dahulu disebabkan  oleh sesuatu.  Allah memberikan pahaman sedemikian rupa, sehingga dengan kejahilan yang Allah berikan itu mereka yakin dengan pendapatnya, bahwa apapun pilihan hidup manusia tergantung kepada dirinya. “Jika manusia menghendaki kebaikan lalu berusaha untuk mencapainya, maka Allah akan mengiradahkan bagi mereka kebaikan”. Dan sebaliknya “jika manusia menghendaki keburukan lalu beramal dengan amal yang buruk, maka Allah juga akan mengiradahkan baginya keburukan”.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mereka meyakini setengah keterlibatan Tuhan dalam kehidupan, dengan bahwa qudrah iradah Allah ikut serta dalam setiap perbuatan makhluk, tetapi setelah wujud qudrah iradah makhluk sebelumnya. Oleh karena itu menurut mereka sudah sepatutnya disandarkan segala perbuatan makhluk kepada makhluk, karena hanya dengan qudrah iradah makhluk setiap awal perbuatan makhluk dimulai. Implikasi dari 'itiqad yang demikian menimbulkan sikap memuji dan mencela. Bila Allah datangkan atas mereka  kebaikan maka ia akan memuji dan bila Allah datangkan keburukan ia akan menjela, karena mengira kebaikan dan keburukan yang Allah berikan disebabkan oleh kehendak kuasa dirinya atau orang lain. Untuk lebih dapat memahami hakikat subjek dibalik segala perbuatan, saudaraku dapat membaca kajian singkat kami dalam Kajian Ma'rifatullah No. 03 tentang Hakikat Pemilik Segala Perbuatan.

Wahai saudaraku,  terkadang dengan kemurahanNya mereka awam ikut mempelajari berbagai kitab tauhid dan tasawwuf bahkan mengajarkannya, tetapi surah dan syarah mereka tetap saja masih dalam batas pemahaman derajat awam. Karena tidaklah lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan tasawwuf melainkan mereka para sufi dan tidaklah lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan ketauhitan melainkan mereka para ‘Arifin.   Se’alim apapun mereka di derajat awam tetap saja dalam beri’tiqad, berbicara dan berbuat belum diberi kuasa untuk melepaskan diri dan berpindah kepada makam yang lebih mengenal kepadaNya. Allah SWT belum melepaskan mereka dari jeratan mempersekutukan diriNya, pada zat, sifat, dan perbuatanNya.  Allah SWT tidak/masih belum menghendaki ia awam untuk berpindah. Walaupun demikian Allah SWT mencintai mereka, karena memang Allah jualah yang menempatkan dan mengkondisikannya pada makam tersebut, dan pada derajat inilah Allah SWT ridha kepadanya.
3. Derajat Salik   
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa seorang salik adalah menempuh thariqah sufi.  Jalan mereka adalah jalan sufi, jalan mendekatkan diri atas dasar  kecinkeci  kepadaNya. Kepada mereka  Allah SWT mulai pembukakan sidikit demi sedikit hijab kemakhlukan. Ia salik mulai mengetahui hakikat pemilik segala perbuatan. Mereka diperjalankan pada jalan mencintai Tuhannya, dengan selalu ingat dan ingin dekat kepadaNya.  Allah  SWT menjadi yang paling utama baginya.

Salah satu ciri seorang salik adalah tidak disibukkan lagi ia dalam mengurus segala urusan dengan makhlukNya. Adapun fungsi amal ibadah dan kebaikan yang mereka kerjakan hanya sebagai media pelepasan kerinduan kepadaNya semata. Pada mereka juga mulai terbit keiklasan yang sempurna.  Selalu mencucurkan air mata bila mengingatNya,  sang salik tidak rela sedetikpun para makhluk mengganggu dan melalaikan ia dari mengingat Tuhan mereka.  Menyendiri bersama Allah adalah jalan bagi mereka. Orang-orang yang Allah SWT tempatkan pada derajat ini sudah mulai menata kehidupan dengan penuh ihsan kepadaNya.

Seorang salik mengetahui dengan pasti, bahwa Allah SWT berbuat sesuatu karena memang Ia menginginkan sesuatu, bukan dipengaruhi oleh sesuatu yang lain.

Saudaraku, dalam keadaan bagaimanapun mereka salik selalu penuh harap kepada Tuhan.   Allah SWT mulai membukakan hijab kesadaran akan hakikat di sisiNya. Pada derajat ini juga para salik sudah mulai meyakini bahwa segala kebaikan dan keburukan datang hanya dari ketetapanNya, tidak ada sangkut paut dengan amal perbuatan manusia. Karena semua amal manusia Allah juga yang menggerakkannya.

Ketahuilah, bahwa perkataan dan perbuatan seorang salik sudah mulai menampakkan tanda awal sebagai orang yang akan dima’rifahkan olehNya.  Mereka mulai dapat melihat dan merasakan bagaimana tiada yang berbuat selain Allah, dengan telah mampu menguraikan secara benar makna “kasab” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Iman Abu Hasan Al-‘Asyari dalam pahamam Ahlussunnah Waljama’ah.

Pada akhirnya jika Allah tidak memilih mereka sebagai Wali dan ‘Arifin, maka puncak kesempurnaan seorang salik adalah Allah jadikan ia sebagai Muqarrabin. Berikut beberapa karakteristik seorang salik, yaitu selalu dalam keadaan bermahabbah kepada Allah,  mujahadah, khalwat bersamaNya, uzlah, zuhud, qana'ah, tawakkal, muraqabah, ridha, dzikir, fakir  dan lain sebagainya. Untuk lebih mengenal para salik, sekalian saudaraku dapat membaca kajian singkat kami dalam Kajian Ma'rifatullah No. 17 tentang Ciri Calon Ahli Ma'rifah.   
4. Derajat Wali
Wahai saudaraku, Allah SWT telah menetapkan sejak azali siapa saja yang akan ditempatkan pada  derajat ma'rifah tertentu termasuk para waliNya.  Allah mengangkat dan mensucikan mereka dengan jalan majdub, arti majdub tanpa usaha.  Walaupun pada awalnya ia seorang awam, salik dan bahkan pelaku maksiat sekalipun, namun pada umumnya mereka adalah para Muqarrabin. Bila sudah sampai waktunya keajaibanpun menerpa.   Dalam waktu singkat mereka telah Allah angkat menjadi seorang wali, dibersihkan batin, ditanamkan nur ma'rifah dan dibukakan pintu kasyaf.

Kemudian Allah SWT membekalinya dengan ilmu dan mahabbah yang sempurna.  Dengan ilmu mukasyafah dan laduni para wali  mengetahui dengan pasti hakikat kebenaran atas segala sesuatu disisiNya.    Allah SWT memperlihatkan dengan jelas kepada mereka bahwa asal-usul keluarnya semua perbuatan hanya dari padaNya. Adapun sebahagian tanda-tanda bagi seorang wali adalah  telah Allah SWT perjalankan mereka di atas “Tauhidul Af’al". Mereka tidak lagi terhijab dengan makhluk dalam memandang kebesaranNya, meninggalkan berharap apapun kepadaNya, menerima segala ketetapanNya dengan selalu pasrah dalam lautan takdirNya.

Para Wali adalah pengemban tugas langsung dariNya. Mereka Waliyullah tidak disibukkan lagi dalam mengerjakan ibadat sunat biasa, mereka mempunyai tugas lain yang lebih utama disisiNya. Allah SWT memberikan tugas khusus kepada tiap-tiap dari mereka berdasarkan pangkat atau makam tertentu.   Ada 37 pangkat / maqam para wali Allah sebagaimana yang telah diuraikan dalam kitab Jawahir Al-Khamsi, karya Syeikh Khatiruddin Abu Yazid Al-Khawajah dan Kitab Jami’u Karamatil Aulia, karya Syeikh Yusuf Ibni Isma’il An-Nabhani R.A.  Untuk mengetahui perbedaan para Wali dengan mereka yang berada pada pangkat ma'rifah lainnya, bacalah Kajian Ma'rifatulah No. 03 tentang Perbandingan Derajat Ma'rifah.   
5. Derajat ‘Arifin
Wahai saudaraku, sebenarnya sulit bagi kami untuk menjelaskan bagaimana sebenar perihal seseorang yang diangkat menjadi ‘Arifin olehNya. Sama halnya seperti sulitnya menguraikan bagaimana rasa nikmat manisnya madu dan lezatnya susu kepada mereka yang belum pernah merasakan keduanya madu dan susu. Namun dengan pertolongan dariNya kami akan berusaha untuk mendekatkan pemahaman bagaimana sebenar perihal hakikat mereka ‘Arifin atau kaum ‘Arifbillah tersebut.

Sebutan Derajat ‘Arif (Makam ‘Arifin) ditujukan bagi mereka yang sudah dima’rifahkan kepadaNya dengan kadar ma’rifah yang sempurna.   Allah membangunkan ianya ‘arif, dan iapun terjaga dari hijab kejahilannya, lalu  Allah SWT menyadarkan dan mempersaksikan kepada mereka pada sebuah kenyataan bahwa tiada wujud sesuatu selain dari padaNya. Kesadaran tauhid inilah yang disebut ‘arif kepadaNya atau ‘Arifbillah.  Dengan kesadaran tersebut ia ‘arif merasakan dan menyaksikan diri merupakan bagian dari wujud Allah yang satu, hilang dirinya dari sesuatu, tidak merasakan lagi ada wujud diri dan makhluk lainnya, yang ada hanya wujud Allah SWT saja.  Mereka merasakan segala gerak dan isyarah adalah gerak dan isyarah Allah SWT.  Ia 'arif bukan memfanakan diri, tetapi memang apa yang dirasakan dan disaksikan adalah realitas yang sebenar di sisi Allah SWT.

Ketika menyadari keberadan wujud yang satu, sang ‘Arif merasakan diri telah fana dari sesuatu. Untuk selanjutnya hanya keberadaan wujud Allah yang mereka rasakan. Apapun yang tercipta, itu adalah wujud qadim milik Allah SWT, setiap yang qadim adalah kekal.  Inilah maksud ‘Arifin telah baqa’ dalam wujud yang sebenar.  Para 'Arifin telah sampai pada batas pencarian akan Tuhannya.  Allah SWT telah membukakan kepada mereka penglihatan batin.  Ia betul-betul tidak melihat dan merasakan ada wujud lain selain wujudNya. Mereka telah sempurna dalam mengesakan Allah SWT pada zat, sifat dan perbuatan. Jika para Wali mengenal Allah pada Af’alNya, maka para ‘Arifin mengenal Allah pada WujudNya.

Dengan cahaya ma’rifah mereka ‘arifin menegaskan bahwa “tiada wujud selain wujud Allah, karena hakikat yang selain Allah juga bagian dari padaNya”. Untuk mengetahui subtansi pengesaan wujud Allah oleh para 'Arifin, baca Kajian Ma'rifatullah No.02 tentang Esensi Pengesaan wujud Allah oleh Para Ahli Ma'rifah.  
B. Allah SWT Meridhai Setiap Orang Pada Derajatnya Masing-Masing
Wahai saudaraku, dimanapun Allah SWT menempatkan insan, ditempat itulah Ia ridha kepadanya.  Dia maha mengatur segalanya, tiada daya dan upaya melainkan daya dan upayaNya.  Derajat insan adalah dari ketetapannya, bukan dari pesanan dan bukan juga dari hasil usaha.   Setiap insan tidak memiliki pilihan, selain pilihan yang telah Allah tetapkan.   Kemudian adakah bagi yang ‘Arif merasa beruntung atau bagi yang salik merasa kurang beruntung dan bagi yang awam merasa sangat tidak beruntung karena Allah menempatkan mereka pada derajatnya masing-masing,  adakah demikian?.

Wahai saudaraku, ungkapan beruntung merupakan perbandingan antara makhluk dengan makhluk.  Seorang ‘Arifin tidak merasakan kehadiran makhluk di sekitarnya, tidak ada yang namanya makhluk, segala yang ada hanya berasal dari wujud yang satu, yaitu wujud Allah SWT.  Sang ‘arif tidak merasa sama sekali hal tersebut di atas. Bagi yang sudah ‘arif derajat manusia dimanapun itu sama.     Semua derajat berasal dari dan atas diri Allah SWT. Lain halnya dengan mereka salikin, batin sang salik senantiasa tertuju hanya kepada Allah SWT.  Hati selalu kosong dari mengingat makhluk. Kemudian mengisinya dengan hanya mengingat Allah, selalu menyibukkan hati dengan berzikir kepadaNya.  Mengingat makhluk adalah suatu pantangan, karena dengan mengingat makhluk hati akan berpaling  dari mengingat Allah. Mengingat Allah meliputi mengingat af’al Allah.

Dalam keadaan bagaimanapun para salik mengetahui dengan pasti bahwa segala kejadian datangnya dari ketetapan dan perbuatan Allah SWT. Mereka salik tidak pernah sempat membandingkan dirinya dengan manusia lain, mereka sangat menjaga hati agar tidak berpaling sedikitpun kepada yang selain Allah.

Wahai saudaraku, derajat awam adalah derajat mukmin pada umumnya, Allah yang menempatkan mereka pada derajat tersebut. Dalam kontek ma’rifah, mereka awam sama sekali tidak mengetahui  bahwa dirinya ditempatkan olehNya pada derajat awam, sekalipun itu  orang yang sudah dianggap ulama dikalangan mereka.  Allah SWT adakala memberi kelebihan kepada yang dikehendaki dari kalangan awam, berupa qaramah atau kelebihan yang lain.  Tetapi kelebihan tersebut  Allah berikan karena memberi hikmah atas amal ibadah yang sudah diperbuat, bukan karena ma’rifah ia kepada Allah SWT.

Melihat  hikmah yang diberikan tersebut, orang ramai menafsirkan bahwa yang bersangkutan telah ma’rifah kepada Allah SWT menjadi ‘Arifin.  Allah SWT menanamkam anggapan kedalam batin mereka awam, bahwa berbagai macam ilmu lahiriah yang telah Allah berikan selama ini, itulah sesempurna-sempurnanya ilmu dalam ma’rifah kepadaNya.  Allah SWT membingkai mereka untuk tetap berada dalam derajat awam.  Karena merasa sudah memiliki ilmu yang sempurna, mereka tidak menyadari bahwa dirinya masih berada pada derajat awam, sehingga sama sekali tidak merasa kekurangan dan sangat tidak beruntung.

Menyadari bahwa makam setiap manusia Allah SWT yang menetapkannya, sepatutnyalah jika Allah menghendaki setiap insan saling bertoleransi antara satu dengan yang lain.  Seorang salik hendaknya tidak mempersoalkan kekurangan mereka awam dan orang awampun hendaknya menyadari dan memaklumi ketinggian derajat mereka salikin.    
C. Hubungan Qaramah Dengan Mereka Awam, Salik, Wali dan ‘Arif .   
Wahai saudaraku, qaramah merupakan hikmah yang Allah SWT berikan kepada hamba. Qaramahnya para ‘Arifin  adalah hikmah dari dima’rifahkannya mereka kepadaNya.  Qaramahnya muqarrabin adalah hikmah dari diangkatnya mereka menjadi wali.  Sedangkan qaramah mereka awam dan salik adalah hikmah dari diistiqamahkannya mereka dalam amal ibadah sunat. Dengan  kemurahanNya banyak  mereka  awam dan salik deberi qaramah, tetapi tidak satupun dari mereka telah sampai  kepada  ma’rifah.  Allah SWT memberikan qaramah kepada siapa saja yang dikehendaki.    
D. Hubungan Qaramah Dengan Ma’rifah   
Saudaraku ketahuilah, bahwa qaramah tidak berkolerasi dengan ma’rifah, maksudnya “tidak semua mereka yang diberi qaramah, diberikan ma’rifah”.  Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa awam dan muqarrabin juga diberi qaramah.  Qaramah adalah suatu bentuk apresiasi Allah SWT atas ketaqwaan hamba, yang mana ketaqwaan tersebut datangnya juga dariNya.  Sedangakan ma’rifah yang Allah berikan kepada mereka ‘Arifin bukan dikarenakan keta’atan atau ketaqwaan mereka kepadaNya.  Tetapi ma’rifah adalah keinginan Allah SWT. memperkenalkan diriNya kepada hamba.

Hakikat memperkenalkan diri, ialah Allah SWT bersedia membukakan hijab kesadaran tauhid kepada hamba.  Kesadaran tersebut dalam bentuk terbukanya penglihatan batin  yang sempurna, sehingga melihat dengannya hakikat kebenaran bahwa  tiada wujud selain wujud diriNya.   
E. Hubungan Kewalian Dengan Ma’rifah    
Wahai saudaraku, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, waliyullah adalah pengemban tugas langsung dariNya.  Allah SWT mengangkat mereka Wali sebagai WakilNya, guna melaksanakan tugas-tugas tertentu dariNya.  Mereka tidak diberi pengetahuan ma’rifat yang mendalam akan Ia,  karena bukan untuk tujuan tersebut mereka di angkat sebagai Wali.  Allah SWT menghendaki memperkenal diriNya kepada para Wali, hanya  dalam ruang lingkup Tauhidul Af’al saja. Waliyullah sangatlah mulia kedudukannya disisi Allah SWT, sampai-sampai Allah berfirman “Barang siapa menyakiti para waliKu, maka aku nyatakan perang terhadap dirinya”.

Banyak para Wali yang dikenal seperti Awis Qarni, Syekh Abdul Qadir Jailani, Ibrahim bin Adham, Fuzail bin Diat dan masih banyak yang lainya.  Mereka Wali Allah tempatkan pada tempat dan tugas yang berbeda-beda.  Bila seorang Wali wafat, Allah SWT mengangkat Wali yang lain sebagai penggantinya.     
F. Hubungan ‘Arifin  Dengan Ma’rifah
Wahai saudaraku ketahuilah, hikmah dima’rifahkan mereka ‘Arifin tidak lain adalah Allah SWT ingin memperkenalkan diriNya kepada mereka.  Ia ingin ‘Arifin mengetahui siapa diri mereka sebenarnya dan dari mana mereka berasal.  Akhirnya mereka mendapati dirinya adalah Dia yang haq.  Sang ‘Arif hilang dari segala indentitas, dan realitas.  ‘Arifin fana dan kemudian baqa’ dalam wujud yang sebenar, yaitu wujud Allah SWT.   Dari jaman ke jaman jumlah mereka sangat sedikit.  Sebagian besar dari mereka Allah hijab keberadaannya dari pengetahuan orang ramai.

Makna hijab bukan jasad mereka yang tidak kelihatan, tetapi keberadaannya yang tidak memberi kesan apa-apa kepada orang ramai.  Para ‘Arifin diperlihatkan oleh Alllah SWT dalam keadaan seperti orang biasa-biasa saja.  Jika mereka ada di tengah-tengah masyarakat, tidak ada yang peduli dan jika mereka hilang, tidak ada yang menanyakan.  Pada hal Nabi SAW mengatakan, merekalah imam-imam besar yang Allah perjalankan di atas permukaan bumi.

Makna imam besar adalah mereka yang paling mengenal Allah, mereka yang sangat mengetahui hakikat ibadat, hakikat tauhid, hakikat kehidupan dan hakikat lainnya disisi Allah SWT.   ‘Arifin di hijab karena keberadaan mereka sangat tidak bermanfaat bagi orang ramai.  Ilmu  yang ada padanya tidak akan pernah dapat dipahami oleh mereka, yang pada umumnya masih Allah tempatkan pada derajat awam dan jahil.

Sebagian dari ‘Arifin adalah Abu Yazid Bustami,  Syekh Juned Al-Baghdadi,  Abu Husen Al-Mansur, Surawardi, Syekhul Akbar Abu Muhyeddin Ibnu ‘Arabi,  Abdul Qarim Al-Jilli, Imam Al-Ghazali, Syekh Hamzah Fansury dan masih banyak yang lainnya.    
G. Perbedaan Kadar Harap dan Kecintaan    
Wahai saudaraku, mereka yang jahil sama sekali tidak pernah berharap sesuatu kepadaNya,   mereka beranggapan bahwa segala yang mereka cita-citakan akan datang dari hasil usaha dan kerja keras mereka, tidak ada keterlibatan tuhan di dalamnya. Mereka yang jahil tidak mengetahui bagaimana rasanya mencintai Allah SWT.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada mereka awam,  kadar harap orang awam kepada Allah fluktuatif dipengaruhi oleh banyak sedikitnya amal. Kecintaan orang awam kepada Allah SWT sangat rendah. Ibadat merekapun ditujukan untuk memperoleh pahala, yang berguna bagi keselamatan mereka di dunia dan akhirat.  Mereka menganggap karena amal-amal ibadatlah Allah SWT menyelamatkan seseorang dari siksa dan memberi kebahagiaan kepadanya di dunia dan akhirat.

Berbeda dengan orang  awam,  para salik yang kebanyakan para sufi, selalu meletakkan harap penuh kepada Allah SWT dalam segala kondisi dan situasi.  Mereka tidak henti-hentinya mengharap rahmat dan ridha Allah SWT.  Ia salik merasakan kemurahan Allah kepadanya tidak disebabkan oleh amal ibadat mereka.  Ibadat yang mereka kerjakan semata-semata bertujuan untuk mendekatkan diri kepadaNya.

Kemudian para Wali tanpa berharap apapun, hanyut dalam lautan kepasrahan.  Mereka ridha penuh cinta kepada apa saja yang Allah kehendaki atas dirinya.  Kecintaan yang  teramat sangat kepadaNya menjadikan mereka hilang keinginannya kepada yang selain Allah SWT.  Dan  bagi ‘Arifin,  mereka hilang dari identitas kemakhlukannya. Mereka tidak merasakan lagi ada sifat dan wujud selain sifat dan wujud Allah SWT.  Kalaupun ada keinginan berharap dan cinta, maka gerak ingin, gerak harap dan gerak cinta adalah gerak daripadaNya semata.        
H. Hubungan ‘Ulama dengan Ma’rifah   
Sudah kami jelaskan di atas bahwa Allah SWT membagi dan menempatkan manusia ke dalam beberapa derajat ma’rifah disisiNya.  Pada setiap derajat  Allah ciptakan atmosfer kehidupan yang berbeda,  Allah bekali ilmu dan ma’rifah dengan kadar yang juga berbeda.

Cara hidup, tabi’at dan prinsip mereka awam dengan Salik berbeda, Salik dengan Wali berbeda dan Wali dengan ‘Arifin juga berbeda.  Berbeda derajat ma’rifah berbeda cara hidup dan berbeda nilai-nilai ketauhitan dalam praktek kehidupannya.   Seorang awam tidak akan mampu memahami perkataan dan cara hidup mereka salik, dan seorang salik tidak akan mampu memahami perkataan dan cara hidup mereka Wali, dan seorang Wali sekalipun tidak akan mampu memahami perkataan dan cara hidup mereka  ‘Arifin. Allah SWT menghendaki munculnya ‘Ulama sebagai tempat merujuk  dari setiap  derajat ma’rifah.  ‘Ulama bagi mereka yang jahil adalah siapa saja yang sukses dalam kehidupan kebendaannya, berhasil dalam menghimpun harta, meraih jabatan,  memiliki kekuasaan, itulah ikutan dan panutan untuk  mereka.

Bagi yang awam fuqaha’ adalah lampu penerang untuknya.  Dan Muqarrabin sebagai petunjuk jalan kepada yang  masih Salik. Sedangkan  Qutub adalah pimpinan  bagi para WaliNya.    
I. Hubungan Al-Qur’an dengan Ma’rifah
Ketahuilah, Al-Qur’an adalah kitab yang maha sempurna sebagai petunjuk yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.  Berkaitan dengan apa yang sedang kita bicarakan mengenai derajat ma’rifah, secara umum kandungan Al-Qur’an sudah mencakup pentunjuk bagi setiap derajat ma’rifah yang dimaksud. Namun secara khusus bagi mereka yang Allah SWT tempatkan pada derajat khusus seperti para Wali dan ‘Arifin memerlukan petunjuk lebih lanjut dari padaNya. Petunjuk lebih lanjut tersebut Allah SWT berikan dalam bentuk dibukakannya kasyaf dan dicurahkannya ilmu laduni kepada mereka.

Ketinggian derajat ma’rifah yang Allah berikan menjadikan pandangan dan roh Wali dan ‘Arifin  menembus alam lain disisi Allah SWT, yang mana tidak semua orang dapat melakukannya. Tentunya akan sangat membingungkan orang awam, apabila petunjuk lebih lanjut bagi Wali dan ‘Arifin tersebut Allah turunkkan juga dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an.  Akan terjadi salah penafsiran atas ayat-ayat tersebut nantinya, dan mereka awam akan memaksakan diri untuk menafsirkannya karena mengira ayat-ayat tersebut di turunkan bagi mereka.   
J. Hubungan Ibadah dengan Ma’rifah    
Wahai Saudaraku, sebagaimana qaramah dan  ma’rifah, ibadah dengan ma’rifah juga tidak  memiliki hubungan sebab akibat diantara keduanya.  Ibadah adalah satu bentuk kemurahan Allah SWT kepada hamba. Demikian juga ma’rifah, datang dari kemurahan Allah SWT  dalam bentuk bersedianya Ia memperkenalkan diri kepada hamba.   Keduanya ibadah dan ma’rifah tidak memiliki hubungan sebab akibat sama sekali. Ma’rifah seseorang kepadaNya tidaklah disebabkan karena banyak amal ibadah yang diperbuat.  Tetapi  “ma’rifah sepenuhnya datang dari Allah SWT yang berkeinginan memperkenalkan diriNya kepada hamba”.

Ibadah dan ma’rifah datang hanya dari kemurahanNya saja.  Ibadat hamba tidak berpengaruh sama sekali kepada Allah SWT,  karena gerak kuasa lahir dan batin dalam mengerjakan ibadah datangnya dari gerak kuasa Allah SWT juga.  Kalaupun bersamaan kejadian di antara keduanya,  dikarenakan Allah SWT menghendaki bersamaan kejadian keduanya.    
K. Hubungan Belajar dengan Ma’rifah 
Mempelajari berbagai disiplin ilmu adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan seseorang dari kejahilan, termasuk kejahilan dalam mengenal Allah SWT secara ‘am/umum.  Namun hal tersebut tidak berlaku bagi ma’rifah yang khassah.  Ma’rifah  secara ‘am meliputi pengetahuan mengenai hal-hal yang wajib, yang mustahil dan yang harus bagi Allah dan RasulNya, sebagaimana yang telah simpulkan dalam ‘itiqad lima puluh dan lain sebagainya.

Sedangkan ma’rifah secara khusus mengetahui dan merasakan hakikat segala perbuatan dan hakikat wujud Allah SWT.  Ma’rifah demikian adalah ma’rifahnya para Wali dan ‘Arifin, ma’rifahnya   mereka kepada Allah SWT tidak diperoleh dengan jalan menghabiskan masa  untuk berkhitmad dalam belajar,  Allah SWT dengan kemurahanNya memilih dan mema’rifahkan diriNya kepada mereka dalam waktu yang sangat singkat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar