Pengaruh Ikhtiar Terhadap Tingkat Perolehan Rizki

Rizki  mencakup segala sesuatu yang bermanfaat, menguntungkan dan dibutuhkan bagi  manusia khususnya dan makhluk pada umumnya, baik dalam bentuk materil atau non materil. Rizki makhluk sering menjadi misteri dan polemik bagi masyarakat awam,  banyak terjadi  kesalahan  dalam meng'itiqadkan sebab-sebab datangnya rizki. Namun bagi ahli tauhid rizki makhluk adalah satu ketetapan yang sudah pasti dan jelas, tidak ada sebab apapun yang menyebabkan datangnya rizki, ia murni dari kemurahan Allah SWT semata. Karena tidak  ada satu halpun dari apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi di alam semesta  tanpa takluk dari  kehendak dan kuasaNya.  Allah SWT. menghendaki  memberikan pemahaman  akan sesuatu hal kepada manusia sesuai dengan derajat ma'rifah mereka kepadaNya. Bagi orang awam  kebenaran akan segala sesuatu diukur hanya dengan  mempergunakan akal dan  penglihatan dzahiriah semata.  Mereka meyakini bahwa ikhtiar dalam mencari nafkah / rizki sangat berpengaruh terhadap tingkat perolehan pendapatan / rizki.  Mustahil pada aqal  wujudnya perolehan rizki bagi seseorang bila ia tidak berikhtiar dalam suatu unit usaha atau lapangan  usaha. Lawan dari  mustahil dalam hukum aqal adalah wajib,  mereka yang awam meng'itiqadkan ikhtiar tersebut hukumnya wajib karena tidak akan memberi bekas bagi datangnya rizki tanpa adanya ikhtiar, ikhtiar menjadi syarat bagi datangnya rizki.   

Rizki Makhluk Dalam Penglihatan Ahli Ma'rifah 

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak selalu mesti mengikat antara masyrut dengan syarat, adakalanya Allah SWT menghendaki hasil masyrut walau tanpa sempurna syarat atau tanpa syarat sekalipun, sebagaimana terjadi dalam hal perolehan rizki. Perlu dicermati bahwa wajib pada aqal dan wajib pada syara' itu berbeda definisinya, segala hal yang diyakini benar menurut aqal dan diterima oleh aqal, disebut hukumnya wajib pada hukum aqal. Melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan dalam agama, disebut hukumnya wajib pada hukum syara'.

Berkaitan dengan persoalan ikhtiar untuk memperoleh rizki hukumnya wajib pada syara' bukan wajib pada aqal. Maknanya ikhtiar dalam mencari rizki wajib hukumnya pada syara' sebagai ibadah dalam melaksanakan perintah agama, bukan sebagai pemberi bekas bagi datangnya rizki. Walaupun bersamaan kejadiannya dan walaupun seolah-olah memiliki hubungan korelasi satu sama lain, namun percayalah bahwa ikhtiar dan  rizki  kedua-duanya  datang dari Allah SWT tanpa menjadi syarat antara satu kepada yang lainnya.

Perintah ikhtiar dalam mencari rizki sama hal keadaannya dengan perintah-perintah lain dalam agama, seperti perintah melaksanakan shalat, puasa, zakat dan sebagainya.  Ikhtiar adalah sesuatu yang diwajibkan untuk dikerjakan, dengan mengerjakannya maka akan mendapatkan pahala dan sebaliknya bila meninggalkan akan mendapatkan siksa.  Sungguh di dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan ikhtiar sebagai pemenuhan perintah Allah SWT dalam agama, bukan sebagai pemberi bekas untuk memperoleh sesuatu.

Ruang lingkup ikhtiar dalam urusan rizki tidak terbatas hanya melalui unit usaha atau lapangan usaha saja, namun lebih luas lagi termasuk di dalamnya ikhtiar  dalam bentuk amal ibadah  seperti shalat sunat tertentu, berdo'a diwaktu dan tempat yang istijabah, mengamalkan wirid thariqah, berdzikir dengan hadir hati, membaca surat-surat tertentu dari kitab suci Al-Qur'an dan masih banyak lagi.  Sedangkan ikhtiar yang paling berat, yang tidak semua orang sanggup melakukannya adalah ikhtiar dalam bentuk pekerjaan batin, yaitu tawakkal kepada Allah SWT. Secara khusus tawakkal hanya bagi mereka yang telah ma'rifah atau mereka yang telah diperjalankan dijalan ma'rifah saja yang mampu melakukannya, karena hal tersebut  telah sesuai dengan keadaan batin mereka.  

Ketahuilah, sebagaimana telah pernah teruraikan dalam kajian kami sebelumnya bahwa bekas dari sebuah ikhtiar/perbuatan hanya mampu dihasilkan oleh wujud yang memiliki sifat-sifat keqadiman pada dirinya, selain dengan itu tidak mungkin bekas dari suatu ikhtiar/perbuatan dapat dihasilkan. Walaupun secara dzahiriah terlihat seolah-olah bekas dari Ikhtiar/perbuatan makhluk dihasilkan oleh makhluk, namun pada kenyataannya bekas tersebut bukanlah milik makhluk. Karena Ikhtiar/perbuatan makhluk yang disebut dengan kasab  tidak akan mampu memberi bekas kepada terjadinya sesuatu ( jangan berpegang kepada makna kasab menurut Iman Haramain, tetapi berpeganglah kepada makna kasab menurut Abu Hasan Al-'Asyari, sebagaimana yang telah diterangkan kembali oleh Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Al Iqtishad fi Al 'Itiqad ).

Karena gerak perbuatan makhluk terjadi dengan takluk kudrah dan iradah Allah SWT, bukan dengan sifat kudrah dan iradah milik makhluk itu sendiri (makhluk tidak memiliki sifat karena adanya makhluk tidak dengan qiyamuhu binafsih). Maka dengan demikian sudah barang tentu perbuatan makhluk adalah milik Allah. Orang-orang muktazilah membantah kebenaran ini dengan sangat keras, mereka bersikukuh bahwa perbuatan makhluk adalah milik makhluk. Sebaliknya Abu Hassan Al 'Asyari membenarkan kebenaran ini, dengan bahwa hanya dalam pandangan lahiriah saja seolah-olah perbuatan makhluk milik makhluk (yang beliau namai dengan kasab), padahal dalam kenyataan sesungguhnya hasil perbuatan makhluk sama sekali tidak melibatkan makhluk didalamnya, Begitulah intipati yang telah beliau terangkan dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah.  

Persoalan orang jahil mengatakan bahwa "tidak akan datangnya rizki tanpa memiliki unit usaha atau lapangan usaha, kita wajib berusaha mencari rizki karena kita tidak mengetahui dimana Allah menempatkan rizki kita, tidak boleh kita mengatakan segalanya kehendak Allah SWT sebelum kita berusaha dan sebagainya",  hal ini adalah urusan mereka yang masih jahil dan awam, bukan permasalahan bagi ahli tauhid. Bagi ahli tauhid  segala sesuatu sudah jelas dan pasti disisi Allah SWT, termasuk didalamnya kejahilan dan keawaman manusia. Dengan kehendakNya mereka yang awam seringkali salah  dalam memaknai "bukankah Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum bila mereka tidak merubahnya".

Maksud tidak akan merubah nasib adalah tidak akan menarik rahmat Allah SWT atas suatu kaum bila bukan karena ulah mereka sendiri, dari taat menjadi maksiat, dari bersyukur kepada kufur dan sebagainya. Karena pada dasarnya Allah SWT adalah sebagai pemelihara, pelindung dan pemberi rizki kepada makhluk, dengan kemurkaanNya segala fasilitas tersebut ditarik kembali oleh Allah SWT lantaran dengan kehendakNya mereka berubah menuju kepada ketidaktaatan dan tidak bersyukurnya ia kaum kepada Allah SWT.

Bukan maksudnya kita tidak akan berubah dari hina kepada mulia, dari fakir kepada kaya, bila tidak diawali ikhtiar dengan  kuasa kita sendiri. Kalaulah tafsir yang benar seperti itu, maka terabaikanlah dan menjadi satu kebohongan atas penglihatan, rasa, dalil dan ilmu dari mereka ahli tauhid/ma'rifah yang dengan kehendakNya telah diangkat menjadi 'Arifin.  

Ketahuilah, tidak ditemui di dalam Al-Qur'an ada kalam Allah yang berbunyi carilah rizki atau kalimat lain menunjukkan makna yang sama. Yang ada nafkahkanlah rizki yang telah kami berikan, maknanya rizki itu diterima terlebih duhulu dari Allah baru kemudian disalurkan untuk berbagai keperluan diri dan keluarga. Jalan menerima rizki melalui berbagai cara yang Allah kehendaki, ada dengan jalan infaq dan sedeqah, zakat, gaji, upah, laba dari tijarah dan sebagainya. Mungkin mereka yang awam lagi berkata, "nah itukan melalui jalan usaha juga, tidak datang dengan sendirinya".

Bersamaan kejadiannya dengan jalan usaha tidak berarti rizki tersebut keluar dari hasil usaha atau berhubungan  dengan usaha, karena bisa saja Allah SWT menghendaki rugi secara terus-menerus atau laba secara-terus menerus dari suatu kegiatan unit usaha, yang mana hal tersebut tidak dapat dihindari dan dikendalikan oleh manusia.  Sikap yang benar adalah sikap yang tidak bertentangan dengan jalan tauhid, kalau Allah memerintahkan kita ikhtiar, ikhtiarlah tanpa meng'itiqadkan memberi bekas.  Manusia tidak mampu mengkondisikan rugi dan laba dari suatu unit usaha, jika mereka  mampu mengendalikannya barulah usaha mereka boleh dikatakan memberi bekas terhadap  perolehan pendapatan dan rizki.  

Ketahuilah, tidak  termasuk dalam golongan orang-orang ber'itiqad yang sahih, jika  Allah SWT masih belum melepaskan kita dari mempersekutukan Ia pada perbuatanNya. Perlu diketahui bahwa Allah SWT menggilir hari-hari di dunia ini, maksudnya tidak akan selamanya seseorang itu akan jaya, kaya, sehat, berkuasa dan lain sebagainya. Akan datang hari saat Allah SWT menghendaki yang  jaya akan runtuh, yang kaya akan miskin, yang sehat akan sakit, yang berkuasa akan menjadi lemah dan sebagainya. Sebaliknya akan datang gilirannya bagi mereka yang miskin akan menjadi kaya, yang sakit menjadi sembuh dan sebagainya. Maha menghendaki Allah SWT akan yang demikian. 

Ikhtiar Yang Paling Berat adalah Tawakkal Kepada Allah SWT.  

Ketahuilah, adakalanya para sufi meninggalkan ikhtiar dalam urusan rizki, adakalanya mengusahakan seperlunya saja. Untuk mereka kefakiran adalah kemegahan, karena harta dan kekuasaan  menjadi hijab antara mereka dengan Allah SWT. Dunia senantiasa melalaikan dan melenakan manusia yang tinggal didalamnya, membuat manusia lupa kepada tujuan hidupnya, lupa untuk selalu ingat dan tawakkal kepada Allah SWT.  Satu saja partikel dunia mengikat hati manusia, maka  akan menjadi hijab antara ia dan tuhannya. Ridha hati kepada kefakiran bukanlah derajat yang mudah dicapai, ridha hati kepada kekayaan dan kemewahan dunia tidak perlu digapai karena nafsu manusia memang cenderung kepada yang demikian.

Ridha hati kepada kefakiran adalah buah dari benarnya tawakkal. Sedangkan tawakkal yang benar adalah buah dari tauhid yang benar kepada Allah SWT. Coba saja suruh mereka yang awam  bertawakkal kepada Allah SWT dalam hal urusan rizki, pasti mereka tidak akan sanggup melakukannya, karena ragu dan tidak yakin dalam menempuh jalan tersebut. Batin mereka menolak untuk membenarkan jalan tawakkal. Padahal tawakkal tidaknya seseorang, berikhtiar tidaknya seseorang sama sekali tidak mempengaruhi perolehan rizki atas dirinya. 

Kefakiran bagi para sufi menjadi syarat agar ingatan mereka tetap kepada Allah SWT. Para sufi mesti selalu mengarahkan hati kepadaNya, karena ketika hati makhluk ingat kepada makhluk, maka pada saat bersamaan ia lupa mengingat Allah, ingatannya kepada Allah direplace oleh ingatan kepada makhluk. Tidak ada dosa yang paling besar kepada Allah SWT selain dosa yang diawali dengan lupa daripada mengingatNya hingga berujung kepada mempersekutukanNya. Hanya para 'Arifin saja yang dengan kehendakNya mampu melihat Allah ketika memandang makhluk, dan hanya kepada mereka para sufi sajalah Allah memberikan pemahaman yang benar akan hal yang demikian.

Seiring dengan berjalannya waktu, para salik yang telah sampai pada pertengahan  perjalanan kesufian mereka, telah mampu  mengkafakan dirinya dari segala kelezatan duniawi. Karena makanan yang lezat, minuman yang nikmat, pakaian yang bagus dan fasilitas yang mewah akan membuat redupnya cahaya hati dan menghilangkan kelembutannya.  Semua itu akan mengikat hati manusia untuk selalu bersusah payah agar dapat menikmatinya berulang-ulang, yang sehingga terciptalah ketergantungan kepadanya. Para Sufi pada umumnya telah mampu melewati fase tersebut, hingga mereka tidak memiliki hajat lagi kepada rizki yang berlebihan, melainkan hanya sekedarnya saja.

Untuk yang sekedar tersebut mereka memilih ikhtiar melalui jalan bertawakkal kepadaNya.   Mungkin saja orang ramai meremehkan ikhtiar melalui jalan tersebut dan hal inipun wajar,  mengingat derajat ma'rifah mereka  masih awam, dengan karakteristik  "masih melihat, menilai dan berpegang atas segala sesuatu  kepada amal/perbuatan makhluk".  Mereka tidak mengetahui bahwa ikhtiar melalui jalan tawakkal sangat berat dilalui, lebih berat dari kerja keras mereka  sehari-hari dengan membanting tulang dan mengucurkan  keringat. Karena hanya orang-orang telah sempurna ketauhitannya saja yang mampu melakukan hal tersebut.  

Ikhtiar Dalam Urusan Rizki Hukumnya Wajib 'Aridhi 

Ketahuilah wahai saudaraku, hikmah Allah SWT mendatangkan rizki kepada umat manusia, tidak lain hanya sebagai penunjang bagi tegaknya ubudiah kepadaNya.  Bukan sebaliknya kesibukan dalam urusan rizki membuat waktu  terkuras dan perhatianpun terfokus hanya kepada hal tersebut. Ikhtiar dalam urusan rizki hanya sebagai penunjang bukan sebagai pekerjaan utama dalam kehidupan manusia di dunia. Mesti ada cut off yang jelas sebatas mana manusia dapat menghabiskan waktunya untuk mengurus urusan rizki, dan sejumlah berapa  rizki yang mesti ada baginya dan keluarga dalam setiap  hari, dan tentu hal ini telahpun diatur sedemikian rupa dalam perbendaharaan hukum agama kita.

Memang pada dasarnya segala amal kebajikan dalam agama dihitung sebagai ibadah, tetapi tapi semua itu mengikat kepada hirarki hukum berdasarkan kondisi, tempat dan waktu.  Ikhtiar dalam urusan rizki  memiliki kedudukan  hirarki hukum sebagai wajib 'Aridzy, maknanya ia bukan pemerintah yang secara rutin wajib dilaksanakan sebagaimana shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hanya dalam kondisi, tempat dan waktu tertentu saja ikhtiar dalam urusan rizki dikerjakan. "Seseorang yang memiliki harta atau bekal yang cukup untuk diri dan orang-orang yang wajib nafkah atas ia kadar satu hari, atau bagi mereka para salik yang sedang melatih diri untuk menjadi sabar, qana'ah dan tawakkal kepada Allah, maka tidak patutlah (jika tidak ingin dikatakan haram) bagi ia menyibukkan diri selain  dengan kesibukan dalam urusan ilmu dan ubudiah kepada Allah SWT. Dan barangsiapa tidak memiliki harta atau bekal yang cukup untuk dirinya dan orang-orang yang wajib nafkah atas ia kadar satu hari, atau mereka yang belum mampu untuk sabar, qana'ah, tawakkal dan menahan diri dari meminta-minta, maka wajiblah bagi ia ikhtiar untuk mengurus segala keperluannya, kadar tidak melalaikannya dari urusan ilmu dan ubudiah kepada Allah SWT. Dan sesungguhnya sabar dan menyerahkan segala urusan dunia kepada Allah adalah lebih mulia disisiNya".  

Menghitung kebutuhan hidup manusia berdasarkan kemauan hawa nafsu tentu tidak akan pernah habisnya. Kewajiban berikhtiar dalam urusan rizki hanya dibatasi bagi terpenuhi segala kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan penunjang lainnya . Selebihnya tidaklah dituntut seseorang mengerjakannya.

Mungkin akan timbul Kekhawatiran bila banyak orang mukmin hanya mengurusi kebutuhan dasar mereka saja, maka nantinya akan menyebabkan negeri-negeri islam  tidak maju  dan bahkan semakin tertinggal dengan negeri-negeri non islam. Allah SWT telah menetapkan dan menempatkan manusia dalam posisinya masing-masing menurut  yang dikehendaki olehNya, termasuk mereka yang melaksanakan ikhtiar melebihi kadar kewajibannya. Allah SWT memposisikan manusia untuk selalu sibuk pada pos mereka masing-masing.

Dalam kenyataannya  Allah SWT selalu memberikan rizki dan sumber daya secara  lebih bahkan berlebihan kepada manusia, dan yang lebih itulah dipergunakan untuk kepentingan sesama, agama dan negara. Percayalah, makmurnya sebuah negeri karena Allah SWT menghendaki memakmurkannya dan sebaliknya runtuhnya sebuah negeri karena Allah SWT menghendaki ia runtuh, yang tentunya dengan segala sebab dan cara yang Allah SWT kehendaki. Tidak ada satu halpun dari apa yang terjadi diluar kuasa dan kehendakNya.  

Menanggapi Pernyataan  Orang Awam 

Ketahuilah, bagi mereka yang belum Allah SWT bukakan  pintu kesadaran tauhid baginya, setelah membaca kajian di atas mungkin dengan nada sinis akan memperolok kajian ini dengan mengatakan "Kalaulah begitu  untuk apa kita sibuk kesana kemari mencari rizki, kita tinggal duduk-duduk saja dirumah tak usah berbuat apa-apa, tunggu saja Allah SWT mendatangkan rizki kepada kita".

Maka jawaban atas sikap yang demikian, memang benar begitu jika Allah menetapkan  demikian, maka dengan segala sebab akan kita dapati rizki kita dihantarkan kerumah. Kalau tidak demikian pastilah ditempat yang lain dengan cara yang lain pula, yang kemudian Allah SWT menggerakkan kita menuju kesana, bukan kemauan kita  tetapi kemauan Allah SWT.   Manusia tidak mampu menahan diri untuk tidak keluar, jika Allah menghendaki mereka keluar menjemput rizki.  Sebaliknya mereka tidak tergerak untuk keluar jika Allah SWT menghendaki mereka berdiam diri dalam urusan rizki dan menyibukkannya  dalam urusan yang lain.

Kalau selama ini kita dikehendaki bekerja dulu baru kemudian Allah berikan pendapatan atas pekerjaan kita, bukan  berarti Allah memberikan rizki setelah melihat hasil prestasi dari pekerjaan kita, baru kemudian Allah terpengaruh lalu sayang kepada kita, yang sehingga dengan hal tersebut diberikanlah rizki, bukan demikian. Ingat kepada pembahasan di atas bahwa segala ikhtiar kita merupakan ibadah disisi Allah SWT bukan sebagai pemberi bekas/pengaruh bagi datangnya rizki.

Orang-orang keluar rumah untuk bekerja dihitung sebagai ibadah dan para sufipun walau hanya duduk-duduk saja ditempat mereka sambil bertawakkal dan berdzikir kepada Allah SWT juga dihitung sebagai ibadah. Tidak satupun dari kegiatan manusia dapat memberi bekas atau menyebabkan  datangnya rizki.  

Pengaruh Ikhtiar Manusia Terhadap Perolehan Rizki Menurut Aqidah Qadariah, Jabariah dan Ahlussunnah Wal Jama’ah  

Perlu diketahui bahwa tujuan utama penulisan kajian ini adalah untuk memberitahukan kepada kaum yang benar, yaitu mereka Ahlussunnah Wal Jama'ah, tentang keberadaan 2 firqah dari 72 yang menyalahi, yang bila tidak dikenali dan diteliti dengan benar akan menyebabkan kita tanpa sadar masuk kedalaman i'tiqad dua firqah  tersebut, yaitu qadariah dan jabariah.  Dalam hal ini aqidah mereka sangat dekat dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah yang berpaham moderat dan alamiah. Makna moderat, bersepakat dengan paham masyarakat awam, bahwa tidak akan berkembang suatu negara bila masyarakat didalamnya tidak berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk merubah nasib mereka sendiri, dari miskin menjadi berkembang, dari berkembang menjadi maju.  Makna alamiah, penampakan fenomena kehidupan secara lahiriah, bahwa seakan-akan hanya mereka yang bersungguh-sungguh saja dalam mengurusi kehidupan dunia yang akan mendapatkan kemakmuran dunia.

Untuk dapat memahami secara sistematis, terstruktur dan mendasar kedua i'tiqad yang dimaksud di atas, khususnya terhadap aqidah mereka dalam meng’itiqadkan ada atau tidaknya pengaruh ikhtiar manusia terhadap tingkat perolehan rizki, maka diperlukan kajian dan penelitian secara seksama guna mengetahui sejauh mana penyimpangan ketauhitan, serta hubungan mereka dengan pemikiran dan anggapan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sekarang ini. Khususnya bagi Ahlussunnah Wal Jama'ah dengan mazhab moderat atau alamiah kajian ini sangat diperlukan, karena tanpa disadari mereka telah jauh melenceng keluar kepada i'tiqad yang lain, dalam hal telah ikut sertanya mereka  mengakui adanya sifat dan perbuatan yang efektif pada diri makhluk.  

I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama'ah yang benar adalah sebagaimana yang dii'tiqadkan dan diamalkan oleh mereka para sufi dan Imam kita Abu Hasan Al - 'Asyari. Dengan konsep kasab beliau yang  tidak mengakui adanya sifat kehendak dan kuasa yang efektif pada makhluk, yang dapat memberi bekas dalam setiap perbuatan mereka . Untuk lebih jelasnya perhatikanlah tabel-tabel perbandingan dan implikasi i'tiqad terlampir.


Hasil tabulasi data dengan jelas menunjukkan perbedaan implikasi yang cukup signifikan antara Ahlussunnah Wal Jama'ah mazhab sufi, Al - 'Asyari dengan Mazhab Moderat, Qadariah dan Jabariah. Sekali lagi kami tekankan bahwa mazhab moderat sebenarnya  beryakinan bahwa firqah yang hak  untuk diikuti adalah Ahlussunnah Wal Jama'ah Mazhab Sufi dan Al - 'Asyari.  Tetapi tanpa disengaja mereka terseret dalam kawasan yang dapat membatalkan ketauhitan kepada Allah SWT, yang disebut dengan kawasan alamiah, yaitu kawasan yang meng'itiqadkan adanya keterlibatan 50% perbuatan makhluk pada setiap perbuatan mereka.  

Ketahuilah, subtansi kesalahan dan penyimpangan dari firqah diluar Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam masalah ini bermuara, pada adanya pengakuan atas sifat dan perbuatan yang efektif pada makhluk, yang dapat memberi bekas bagi dirinya makhluk. Hal ini tentunya akan berimplikasi  adanya pengakuan dari mereka, terhadap berlakunya pengaruh yang efektif atas ikhtiar manusia terhadap tingkat  perolehan rizki. Secara lebih spesifik marilah kita simak uraian hasil penelitian ketiga firqah  yang dimaksud dalam kaitannya dengan tingkat perolehan rizki.  

Kaum Qadariah (Kaum Yang Berpegang Pada Qadar Kuasa Makhluk)  

Sebagaimana identik dengan namanya, kaum qadariah merasakan bahwa segala gerak dan isyarah pada makhluk adalah milik makhluk itu sendiri. Mereka meng’itiqadkan bahwa adanya sifat kudrah dan iradah yang sesungguhnya pada diri makhluk, yang 100% terlibat  dalam menghasilkan setiap perbuatan makhluk. Hasil apapun yang diinginkan muncul dari perbuatan manusia, tergantung kepada kadar ikhtiar manusia tersebut. Tidak ada keikutsertaan Allah SWT dalam setiap gerak dan perbuatan manusia. Peran Allah SWT sebagai tuhan telah selesai pada awal proses penciptaan.

Ketahuilah, mereka kaum qadariah menyandarkan pandangan dan pemikiran mereka, pada pernyataan bahwa segala konsekuensi dalam kehidupan tidak logis bila ditanggung oleh manusia tanpa ada kuasa untuk merubahnya.  Demikian juga kuasa  yang Allah berikan pada manusia (kasab) tidak berarti apa-apa, bila tidak berpengaruh sama sekali dalam mewujudkan perbuatan mereka.  Hal ini sama saja dengan menafikan kuasa itu sendiri.  Kaum qadariah menisbatkan perbuatan manusia dengan penisbahan yang hakiki.

Makna hakiki,  betul-betul segala perbuatan makhluk dihasilkan oleh 100% daya dan upaya dari  makhluk itu sendiri.  Dengan aqidah yang demikian  mereka meng’itiqadkan bahwa “tidak akan datang bagi manusia segala manfaat, kebahagiaan, kesejahteraan dan perlindungan di dunia dan akhirat  tanpa ada usaha/ikhtiar untuk mewujudkannya, karena Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa ada usaha dari mereka untuk merubahnya”. Sehubungan dengan persoalan rizki bagi manusia,  kaum ini melihat bahwa tidak akan diperoleh suatu pendapatan atau rizki tanpa ada usaha/Ikhtiar. Dengan kata lain ikhtiar manusia dalam urusan rizki sangat berpengaruh dan menentukan terhadap tingkat perolehan rizki.  

Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah Berpaham Moderat  

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa, Allah SWT menghendaki adanya ketidakseimbangan bagi sebagian besar kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam memahami ilmu agama. Hal ini mengakibatkan cacatnya pemahaman mereka terhadap ketauhitan yang benar, yang mesti mereka pegang sebagai seorang Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tentunya hal tersebut diluar kesadaran mereka, karena taqlid mereka kepada ulama-ulama moderat yang ada dalam tubuh Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Ketidakseimbangan dalam agama bermula terjadi  karena dihilangkannya sisi batiniah dalam beragama. Islam yang kamil sebagaimana yang dibawakan oleh nabi kita Muhammad SAW adalah agama yang memperhatikan keseimbangan faktor dhahiran wa bathinan.  Ketahuilah, iman dan ihsan adalah perbendaharaan batin.  Jika umat islam mengabaikan hal-hal yang bersifat batiniah dalam kehidupan beragama, maka terabaikanlah iman dan ihsan tersebut.

Berawal dari munculnya syubhat yang didatangkan oleh  kaum ahli bid’ah, khususnya terhadap praktek-praktek ibadah lahiriah. Maka timbullah kekhawatiran sebagian besar ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk memerangi dan menolak syubhat yang didatangkan tersebut, dengan menyusun suatu kurikulum pendidikan agama yang menitik beratkan pada pembangunan kemampuan  penolakan syubhat.

Khususnya yang berkaitan dengan amal ibadah lahiriah seperti  kenduri kematian, tahlil dan shamadiah bagi mereka yang telah meninggal, talqin manyit, bilangan raka’at shalawat tarawih, i’adah dhuhur, pembayaran zakat fitrah dengan memakai alat pembayaran berupa uang dan masih banyak yang lainnya.  Sehingga fokus dan perhatianpun lebih banyak tertuju  kepada penegakan hukum-hukum fiqih saja.  

Ketahuilah, bahwa segala  pembahasan yang berkaitan dengan disiplin ilmu fiqih dalam kehidupan beragama,  mewakili hanya satu sisi saja dari kesempurnaan agama, yaitu sisi islam.   Masih ada dua sisi  lainnya, yaitu iman dan ihsan yang wajib diperhatikan dan didalami sebagaimana sisi islam. Sisi iman dan ihsan inilah yang sering dilupakan dan bahkan tidak didalami  secara mendalam sebagaimana sisi islam.

Ketidakseimbangan ini menimbulkan pemahaman yang menyimpang dalam kehidupan beragama, khususnya terhadap ‘Itiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Termasuk salah satu diantaranya pemahaman terhadap adanya kuasa pada manusia yang efektif ikut  berpengaruh dalam memberi bekas terhadap sebagian perbuatan mereka.

Makna sebagian dalam pahaman ini adalah  ‘Itiqad mereka yang mengakui dan meng-adakan keikutsertaan kehendak dan kuasa manusia pada  tahap awal dari gerak perbuatan mereka, yang kemudian Allah SWT menyempurnakannya menjadi sebuah perbuatan yang sempurna dan memberi bekas kepada perbuatan tersebut.   Dalam hal ini mereka yang berpaham moderat  mengakui bahwa bekas dari suatu perbuatan hanya milik Allah SWT, manusia tidak mampu menciptakannya.  Namun sebelum munculnya bekas/hasil,  mereka terlebih dahulu telah menyekutukan Allah SWT kepada dirinya, dengan meng’itiqadkan adanya ikhtiar mereka sebelumnya yang mempengaruhi Allah SWT, sehingga memberikan bekas/hasil kepada setiap perbuatan mereka. Maka merekapun  berkata “Kalau tidak didahului dengan ikhtiar kita sebelumnya, mustahil Allah SWT akan memberikan rizkiNya kepada kita”.  Perkataan ini mengandungi dua hal yang bertentangan dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pertama mereka kaum moderat menyatakan klem bahwa ikhtiar manusia dalam urusan rizki merupakan murni  gerak dari kehendak dan kuasa manusia itu sendiri.  

Kedua  Allah SWT dipengaruhi oleh makhluk dalam hal menentukan pemberian rizki, dengan memandang mesti ada ikhtiar  sebelumnya, sebagai syarat/pengaruh kepada Allah SWT dalam pemberian rizki bagi manusia. Mereka menggambarkan cara Allah SWT menurunkan rizki kepada manusia dengan terlebih dahulu memperhatikan ada tidaknya ikhtiar dari manusia.   

Sehubungan dengan persoalan rizki bagi manusia,  kaum moderat seperti yang telah diuraikan di atas, melihat bahwa tidak akan diperoleh suatu pendapatan atau rizki tanpa ada usaha/Ikhtiar sebelumnya, yang dengannya akan menyebabkan/terpengaruhinya Allah SWT dalam mencurahkan rizkinya kepada manusia. Dengan kata lain ikhtiar manusia dalam urusan rizki berpengaruh terhadap tingkat perolehan rizki, karena ia menjadi syarat bagi didatangkannya rizki oleh Allah SWT . 

Kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah (Makam Fana dan Kasab)  

Bagi kaum yang haq, yaitu mereka Ahlussunnah Wal Jama'ah memiliki 'itiqad bahwa, tidak berpengaruh dan tidak efektif sama sekali segala ikhtiar manusia dalam menghasilkan rizki bagi mereka. Hal tersebut tidaklah patut, tidak layak dan tidak sah  oleh manusia bila mengakuinya. Karena bagi sesuatu, yang ianya sesuatu tidak berdiri  dengan sendirinya atau adanya ia sesuatu tidak dengan qiyamuhu bi nafsih, maka tidak sah ianya sesuatu menyebut dirinya atau disebut atasnya memiliki wujud dan sifat.

Rizki manusia hanya mampu didatangkan oleh sesuatu yang berwujud dan tentu juga memiliki sifat. Sangat tidak memungkinkan rizki yang luar biasa itu datang dari sesuatu yang tidak memiliki wujud, tidak memiliki sifat dan tidak berdiri dengan sendirinya, yaitu kita manusia.  Oleh karenanya  Ahlussunnah Wal Jama'ah ber'itiqad,  bahwa tidak berpengaruh sama sekali ikhtiar manusia terhadap tingkat perolehan rizki, yang ada hanya melaksanakan perintah ikhtiar sebagai ibadah, bukan sebagai pemberi bekas/efek bagi datangnya rizki. Ikhtiar manusia sama sekali tidak berkorelasi dengan rizki. Allah SWT adakala menurunkan rizki di tempat ikhtiar dan adakalanya ditempat lain.

Rizki bukanlah hasil prestasi  dari keberhasilan ikhtiar manusia. Walau kebanyakan rizki muncul di tempat ikhtiar, tidak berarti rizki itu diberikan oleh Allah SWT karena telah berhasilnya ikhtiar. Lihatlah batapa gigihnya ikhtiar Siti Hajar dalam mencari air, berlari bolak balik diantara dua bukit safa dan marwah, namun ternyata air yang dicari-cari justru muncul di luar tempat ikhtiar.  Walaupun ada  proyeksi, estimasi dan kalkulasi dari suatu ikhtiar, tetap saja semua hal tersebut merupakan bagian dari kehendak dan gerak Allah SWT dalam menciptakannya ikhtiar bagi makhlukNya .  

Kaum Jabariah (Kaum Yang Merasa Tergagahi dan Dipaksa)  

Wahai saudaraku, sering kali ketika seseorang menyatakan diri tawakkal kepada Allah, dengan mensandarkan segala suatu kepadaNya, karena menyadari dan merasakan dirinya lemah tiada berdaya.  Pernyataan yang demikian kerap kali mendapat tudingan dari mereka yang masih awam, bahwa orang tersebut telah ber’itiqad jabariah.   Umat Islam pada umumnya belum mengetahui dan belum mampu membedakan  antara konsep tawakkal dengan paham jabariah.

Tawakkal kepada Allah  adalah manifestasi dari tumbuhnya cinta dan kesadaran tauhid  kepada tuhan dalam diri seseorang.  Hal ini disebabkan oleh Allah SWT, yang dengan kemurahanNya  telah memberikan ilmu, penglihatan dan keridhaan kepada seseorang.  Dengan ilmu ia mengetahui bahwa tiada kuasa atasnya untuk merubah segala kondisi yang telah ditakdirkan olehNya dari waktu ke waktu.

Karena kuasa adalah sifat yang qadim dan karena manusia adalah makhluk baharu yang tidak berdiri dengan sendirinya. Kepada orang tersebut Allah SWT juga menganugerahkan penglihatan batin, yang mampu menyaksikan bahwa seluruh perbuatan adalah hasil pekerjaan Allah.  Ia melihat segala perubahan dalam hidupnya adalah milik Allah dan dengan kehendakNya saja segala perubahan akan terwujud.

Bagi mereka bertawakkal  bukan karena tiada pilihan lain  dalam kehidupan.  Sekalipun  ada banyak pilihan, mereka  tetap memilih jalan tawakkal, karena orang-orang yang bertawakkal  kepada Allah adalah mereka yang cinta kepadaNya dengan sebenar-benarnya cinta. Seperti cinta  anak kecil kepada ayah bunda  mereka, dalam kondisi apapun  sang anak tetap memilih hidup bersama. mempercayakan, mengantungkan kehidupan dan pengharapan hanya kepada orang tua mereka.   Faktor mahabbah inilah yang mendasari tawakkal, dimanapun dan dalam kondisi apapun Allah SWT  menempatkan dirinya, mereka tetap ridha.  

Tawakkal kepada Allah SWT  berlandasan ma’rifah, mereka yang belum ma’rifah atau masih berada diluar dari jalan tersebut, tidak akan memiliki kesanggupan untuk melaksanakan tawakkal.  Ketika seseorang mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan, maka seketika itu ia akan mampu melihat Allah SWT dengan segala keelokanNya. Dia adalah tuhan yang begitu luar biasa dan betul-betul tiada bandingannya dengan apapun dan siapapun.

Sempurnanya pengenalan seseorang kepada Allah SWT, akan menyempurnakan kecintaan kepadaNya. Disinilah berawal tumbuhnya mahabbah dan tawakkal. Ma’rifah menumbuhkan kecintaan, kecintaan menumbuhkan keridhaan atas apa saja yang telah Allah SWT rencanakan untuk diri seseorang dengan penuh keikhlasan menerimanya.  

Berserah diri kepada Allah tidak berarti tanpa gerak dan ikhtiar.  Tawakkal adalah manifestasi dari  kesadaran tauhid dan kecintaan kepadaNya. Ketika orang-orang yang bertawakkal melaksanakan ikhtiar mereka menyadari sepenuhnya bahwa  mereka sedang diperjalankan dalam rencanaNya. Oleh karena itu hasil dari ikhtiar juga tergantung pada rencana tersebut.  Pada saat mereka memiliki keinginan kuat untuk berikhtiar, mereka sadar bahwa itu adalah kehendak Allah, dan ketika mereka berdiam diri dari ikhtiar mereka juga sadar bahwa itu juga kehendakNya.  Tidak  mungkin mereka mampu menahan diri ketika Allah menggerakkan mereka untuk berikhtiar, dan sebaliknya tidak akan tergerak mereka untuk berikhtiar ketika Allah SWT menghendaki mereka berdiam diri. Kesadaran tauhid inilah yang disebut dengan ma’rifah, dan ridha hati kepada kenyataan yang demikian disebut dengan  mahabbah, dan mempercayakan pengaturan kehidupan dalam iradah Allah yang demikian disebut dengan tawakkkal. Satu pohon ma’rifah akan berbunga mahabbah dan berbuahkan tawakkal.  

Konsep tawakkal di atas diamalkan dalam rangka pemurnian tauhid. Dengan sarana tawakkal inilah seorang hamba dapat mensucikan ‘itiqad mereka kepada Allah SWT.  Tudingan sesat sebagai kaum jabariah kepada mereka yang bertawakkal,  sangat tidak beralasan.   Karena  kaum jabariah sendiri menolak mengamalkan konsep tawakkal. Mereka tidak rela menyerahkan kehidupannya kepada Allah SWT.  Hal ini dibuktikan dengan ‘Itiqad mereka yang merasa terpaksa menerima segala ketetapan  Allah SWT atas diri mereka.  

Sama halnya dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, paham jabariah juga turut  mengakui bahwa segala perbuatan adalah milik Allah. Sisi persamaan inilah yang membuat orang awam susah membedakan kedua aqidah ini, khususnya menyangkut dengan masalah ikhtiar. Kaum jabariah  ber’itiqad, bahwa ada sifat  pada makhluk yang terpisah dari sifat Allah, yaitu  sifat  yang tidak muncul karena telah ditekan dan tenggelam dalam paksaan  Allah SWT, dipaksa untuk menerima segala takluk dari sifat-sifatNya saja. Mereka mengatakan, tidak mungkin dalam wujud makhluk yang sempurna tidak berdiri sifat-sifat baginya. Menurut mereka sifat makhluk  sama efektifnya dengan sifat tuhan dalam menghasilkan  perbuatan makhluk. Tetapi Allah SWT tidak pernah memberi kesempatan bagi mereka untuk berbuat sesuai dengan kehendak dan kuasa mereka sendiri.

Dengan mengakui adanya sifat sebenar pada diri makhluk seperti qudrah dan iradah, masuklah mereka jabariah dalam kelompok yang  membenarkan adanya  sifat lain yang  berdiri sendiri selain sifat Allah SWT.  Hal ini juga sama seperti ‘Itiqad  mereka kaum qadariah sebagaimana yang telah kita bahas di atas. Hanya saja perbedaannya terletak dimana satu pihak merasa  Allah SWT memberikan kebebasan bagi mereka untuk menghasilkan perbuatan mereka sendiri, dengan mempergunakan sifat-sifat yang telah dimiliki sebelumnya. Satu pihak lagi merasa dirinya dikenang, dengan tidak diberi kesempatan untuk dapat menghasilkan perbuatan mereka sendiri. Orang-orang jabariah merasa dipaksa untuk bergerak mengikuti segala kehendakNya.  

Sehubungan dengan persoalan perolehan rizki, kaum jabariah meng’itiqadkan bahwa akan selalu ada perolehan pendapatan atau rizki bagi manusia selama ia hidup, dengan atau tanpa usaha/Ikhtiar   dari mereka.  Karena wujudnya rizki merupakan hasil dari perbuatan Allah SWT, bukan  keluar dari  perbuatan manusia. Karena hakikat manusia tidak memiliki perbuatan, sebab segala sifat yang dapat menghasilkan perbuatan pada diri manusia telah didisfungsikan oleh Allah SWT.  Ikhtiar manusia dalam urusan rizki  merupakan wujud lahir daripada gerak perbuatan Allah SWT. Faktor yang memengaruhi suksesnya ikhtiar dalam urusan rizki datangnya dari pemilik ikhtiar itu sendiri, yaitu Allah SWT. Sehingga  ikhtiar manusia tidak berpengaruh sama sekali terhadap tingkat perolehan rizki, karena ikhtiar yang dilakukan bukanlah miliknya, melainkan adalah milik Allah SWT.  Inilah inti pemahaman mereka jabariah dalam melihat asal-muasal terbitnya suatu perbuatan.  

Kesimpulan

Dalam pandangan ahli ma’rifah rizki makhluk  murni bersumber dari Allah SWT, Ia adalah tuhan yang menghidupkan, memelihara dan mematikan segala sesuatu yang tidak berdiri ianya sesuatu dengan sendirinya. Rizki beserta jalan menuju kepadanya adalah ciptaan Allah SWT, termasuk ikhtiar dan  pengaruhnya.  Rizki dan segala bentuk ikhtiar yang mengiringinya adalah satu paket utuh dari af’al Allah SWT.  Tidak benar jika dii’tiqadkan bahwa rizki datangnya dari sisi Allah SWT dan Ikhtiar  datangnya dari sisi makhluk.  Tidak ada ikhtiar dalam bentuk apapun yang datangnya dari sisi makhluk, segalanya Allah SWT yang mendatangkannya. Kerena untuk menggerakan ikhtiar diperlukan kehendak dan kuasa.  Sedangkan kehendak dan kuasa adalah sifat-sifat  yang berdiri ianya sifat pada zat.

Sedangkan  zat  menjelma kedalam wujud. Sedangkan wujud adalah sesuatu yang berdiri ia dengan sendirinya.  Sumber daya dalam bentuk apa saja mustahil dapat dihasilkan oleh makhluk, karena hakikat makhluk lemah, baharu dan tidak berdiri ia dengan sendirinya.  Manusia adalah ciptaan Allah, rizki dan ikhtiar juga ciptaanNya. Setiap dari padanya Allah SWT yang meng-ada-kannya, setiap  dari padanya tidak akan mampu memberi bekas / pengaruh kepada yang lainnya.

Naluri alamiah manusia tanpa disadari  memang lebih dekat kepada ideologi atheis dan komunis. Orang-orang Atheis beryakinan bahwa tidak ada pihak yang disebut tuhan, sebagai pencipta, pengatur, dan pemelihara daripada alam dan seluruh isinya. Sebab berubah dan berkembangnya alam adalah dengan sendirinya (alamiah), karena adanya alam juga dengan sendirinya tanpa ada keikutsertaan pihak lain selain alam itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh seorang diantara mereka, yaitu steven hawking, ilmuwan asal Inggris, mengatakan bahwa penciptaan alam semesta yang dimulai dengan terjadinya peristiwa Big Bang atau ledakan dahsyat merupakan kejadian yang terjadi atas kehendak alam, bukan skenario Tuhan. Pernyataan tersebut dikemukakannya dalam acara kuliah umum yang digelar di California Institute of Technology, dengan materi kuliah bertajuk “The Origin of the Universe” atau Asal-Usul Alam Semesta.

Hal  serupa juga menjadi ‘Itiqad bagi kaum komunis, yang secara umum  berpegang pada teori Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis, Orang-orang komunis menilai segala sesuatu hanya dari aspek lahiriah kebendaan atau dari sisi kebenaran material saja.

Orang-orang komunis berkeyakinan bahwa kesejahteraan hidup sepenuhnya mesti diperjuangkan dengan cara apapun oleh kuasa mereka sendiri, dengan jalan mengambil alih pusat-pusat produksi dan kekuasaan, walaupun dengan jalan kudeta dan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah.  Tidak ada bantuan, ketetapan dan pengaturan tuhan.


Berharap, berdoa dan berserah diri kepada tuhan adalah perbuatan sia-sia, karena hakikat tuhan adalah  hasil  pikiran manusia, tuhan itu tidak nyata adanya. Tuhan itu adalah mitos yang tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara material.  Agama merupakan candu bagi pemeluknya, makna candu, agama  dianggap hanya sebagai  rutinitas biasa yang dilakukan secara berulang-ulang seperti shalat dan yang lainnya, tanpa ada efek apapun bagi kesejahteraan  penganutnya.

Mereka yang ber’itiqad bahwa pengaruh ikhtiar makhluk lebih dominan atau bahkan menentukan dalam proses perolehan rizki, adalah orang-orang yang sedikit demi sedikit mulai meniadakan af‘al tuhan dalam kehidupan mereka.  Lambat laun jika Allah SWT menghendaki mereka bisa saja meninggalkan jalan tauhid, menuju kepada keyakinan atheis dan Komunis. Semoga saja Allah SWT tidak menghendaki akan yang demikian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar