Pentingnya Ilmu Ma'rifah Dalam Fatwa Hukum Agama

Wahai saudarauku, para sufi adalah penempuh jalan ma’rifah kepada Allah SWT. Ia senantiasa istiqamah dalam memandang kebesaran dan kehadiran Tuhannya di setiap tempat dan waktu.  Mereka adalah pengamal amalan syari’at yang sempurna.  Kesempurnaan amalan tercermin dari terpenuhinya aspek yang diwajibkan ada dalam sebuah amalan.  Disamping membaguskan wujud amalan secara lahiriah, mereka juga membaguskan wujud amalan dalam batiniah.  Batiniah yang kami maksudkan disini adalah berkaitan dengan faktor  ma'rifah mereka kepada Allah SWT.  Kita telah sama-sama mengetahui bahwa agama yang di bawa Nabi kita Muhammad SAW, adalah agama yang kamil dhahiran wa batinan, yang mengutamakan kesempurnaan lahir dan batin seseorang, tidak mendominasi salah satu di antaranya. Maksudnya ibadah yang kita persembahkan kehadirat Allah SWT, adalah pekerjaan ibadah yang sempurna pada lahir dan batin.  Begitu juga semestinya para ‘alim ‘Ulama dalam memfatwakan hukum agama, mestilah juga mengikutsertakan dua aspek penting tersebut di dalamnya.  Secara lahir adalah dengan mengkaji nash-nash dari Ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW.  Secara batin adalah dengan  panduan cahaya ma’rifah dari Allah SWT. Oleh karena itu sejatinya dalam merumuskan hukum agama hendaklah dilibatkan di dalamnya mereka para ahli ma’rifah.  Mungkin nasehat ‘Ulama Sufi pada halaman berikut dapat menjadi pertimbangan:

“Saudaraku,  syari’at itu adalah pakaian Nabi, thariqad itu adalah perjalanan Nabi, hakikat itu adalah batin Nabi dan ma’rifat itu adalah rahasia Nabi.  Seseorang yang berada di alam syari’at sahaja adalah masih tertipu, kerana apa yang dilihat dan didengar oleh syari’at tidak menjamin akan kebenarannya pada hakikat, justru sebaliknya seseorang perlu menyelami lautan hakikat, dan tiada cara untuk menghubungkan antara syari’at dan  hakikat melainkan berilmu dengan mengamalkan tharikah”.     

Ketahuilah, dalam rangka memenuhi keta’atan kepada Allah SWT, tidaklah dikatakan seseorang ta’at apabila ia hanya mementingkan faktor lahiriahnya saja, tanpa menyempurnakan juga faktor batiniah.  Allah SWT tidak hanya melihat sisi luar dari sebuah ibadah, tetapi Ia juga melihat sisi dalam dari sempurna tidaknya satu ibadah.  Nabi SAW bersabda: Attaqwa Hahuna  sambil menunjuki ke arah dada baliau.  Memang secara dini ada sebagian para Fuqaha’ mengatakan,  kita tidak memerlukan yang namanya pembahasan batiniah, karena sempurnanya ibadah lahiriah pastilah karena dorongan dari telah sempurnanya batiniah seseorang.  Pendapat tersebut tidak selamanya benar, karena dalam banyak kasus fatwa hukum agama, yang tanpa melibatkan unsur batiniah didalamnya, terbukti merusak keseimbangan agama, bahkan melazimkan orang ramai dalam berbuat dosa, Na’uzubillah Min Zalik  

Studi Kasus – Tentang Kaabsahan Nikah Tahlil Status Muhallil Dan Muhallal Lahu Beserta Wanita Yang Dinikahi Oleh Mereka.

Terkait hukum bagi mereka muhallil dan si muhallal lahu telah sama-sama kita ketahui, bahwa Allah SWT melalui RasulNya melaknat mereka berdua.  Walaupun demikian ada dari para ‘Ulama yang mempersilakan mereka merekayasa pernikahan dengan nikah tahlil, karena berpegang kepada pendapat  ‘Ulama Syafi’iyah sebagai berikut.  

Ulama Syafi’iyah berpendapat nikah tahlil haram dan tidak sah jika kesepakatan harus bercerai setelah melakukan persetubuhan, disebut dalam tubuh akad (sulbi akad).  Jika kedua calon suami isteri atau wali perempuan dan calon suami berkesepakatan di luar akad untuk bercerai setelah terjadi persetubuhan dan kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad, maka nikah itu sah dan tidak haram. (pendapan dari batin yang gelap dan kering dari siraman nur ma’rifat)

Kata’atan meninggalkan larangan Allah SWT semestinya senantiasa diwujudkan tidak hanya pada tataran lahiriah, tetapi juga dalam batiniah manusia, baik didepan orang ramai maupun ditempat yang sunyi.  Ketika orang tua, ibu dan ayah kita melarang untuk tidak berbuat sesuatu yang tidak disukainya. Apakah larangan tersebut berlaku hanya ketika berada depannya, atau berlaku ketika berada jauh dari padanya, atau berlaku dimana saja.  KetidakpaTuhan atas larangan Allah SWT baik dalam bentuk rencana tahlil di dalam batin atau kesepakatan tahlil ditempat yang sunyi, adalah satu bentuk pengkhiatan dalam ketidakta’atan kepada larangan Allah SWT dan RasulNya. Kenapa kita berani sekali mengabaikan hal-hal yang bersifat batiniah, apakah menurut kita Allah SWT tidak mengetahuiNya, karena pengingkaran itu tersembunyi didalamnya.  Bukankah iman yang begitu berharga salah satu dari perbendaharaan batin, kenapa kita begitu berani merendahkannya?.  Pendapat yang mengatakan sah nikah tahlil asalkan tidak disebut di dalam sulbi akad, adalah satu contoh bentuk pengkhianatan dalam ketidakta’atan kepada larangan Allah SWT dan RasulNya,  Ia dihasilkan dari pertimbangan lahiriah semata.  Apakah mereka pikir Allah SWT tidak mengetahui kesepakatan tahlil mereka sebelumnya, dan apakah mereka pikir Allah SWT adalah Tuhan yang tuli sehingga tidak mendengar hasil kesepakatan tahlil mereka, dan apakah mereka pikir Allah SWT adalah zat yang buta, sehingga tidak bisa melihat persengkongkolan mereka, dan juga apakah mereka pikir Allah SWT akan melepaskan mereka begitu saja.  

Hakikat larangan Allah SWT berlaku secara subtansial, tidak dibatasi oleh tempat dan waktu.  Maksudnya tidak hanya dalam akad nikah saja larangan Allah dipatuhi, tetapi juga tidak boleh dilakukan kesepakatan tahlil jauh sebelum pernikahan terjadi.   Orang ramai, hakim beserta wali, mungkin tidak mengetahui kewujudan nikah tahlil, mereka menilai hanya dari sisi pemenuhan persyaratan dan rukun secara lahiriah saja.  Tidak mengetahui adanya kesepakatan tahlil sebelumnya, sehingga pernikahan yang dilaknad oleh Allah dan RasuNya tetap terjadi.  Walau demikian pernikahan tersebut tetap haram dan tidak sah.  Dan status wanita yang dinikahi dengan nikah tahlil tetap masih sebagai janda, haram disentuh dan haram melayani laki-laki yang tidak sah sebagai suaminya, kalaupun itu terjadi sudah pasti sebagai perbuatan zina.   

Dimasa Rasulullah datang seorang wanita kepadanya, ia ingin menikah kembali dengan suaminya yang dulu, yang telah mentalak dirinya dengan talak yang putus.  Karena suaminya yang sekarang tidak membahagiakannya dan iapun menginginkan cerai darinya, dan rasullullahpun memperbolehkanya. Ia adalah bekas istri Rifa’ah salah seorang dari sahabat Rasulullah. Kejadian ini dijadikan dasar oleh sebagaian ‘Ulama untuk menghalalkan nikah tahlil.  Padahal alasan mantan istri Rifa’ah mengiginkan cerai dengan suaminya tersebut, karena suaminya tidak mampu memberi nafkah batin, dikarenakan lemah syahwatnya, yang digambarkan seperti rumbaiyan kain.  Dan lagi nikahnya ia dengan suaminya tersebut sebelumnya, bukan dengan cara tahlil, tetapi dengan nikah yang sahih. 

Pernikahan adalah sesuatu yang agung, ia tidak diridhai oleh Allah SWT dipergunakan sebagai tempat untuk mempraktekkan rekayasa kotor.  Perceraian menimbulkan dampak yang tidak baik.  Allah SWT sangat membencinya, sehingga Ia mengharamkan laki-laki menikah kembali dengan bekas istrinya yang pernah ditalak 3 kali, ini adalah hukum Allah SWT.  Lelaki tersebut hanya akan berpeluang menikah kembali dengan mantan istrinya itu dengan syarat apabila, mantan istrinya secara sahih menikah lagi dengan laki-laki lain sebelumnya.  Kemudian ia harus menunggu bila ada kemungkinan bukan merekayasa kemungkinan, dalam perjalanan rumah tangga bekas istrinya itu, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga si mantan istri bercerai lagi dengan suaminya yang baru, atau ditinggal mati oleh suaminya itu, sesudah habis masa iddahnya, barulah bekas suaminya yang dahulu, boleh menikah kembali dengannya.  Jika hal-hal seperti yang kami uraikan di atas tidak terpenuhi, maka selamanya si mantan suami tidak berpeluang menikah kembali dengan mantan istrinya tersebut.  Walaupun ia telah merekayasa satu skenario pernikahan tahlil kepada bekas istrinya itu, tetap saja ia tidak sah kembali menjadi suami daripadanya, karena belum memenuhi persyaratan untuk itu. Hukum ini mengandung kensekwensi dalam memberi efek jera, sebagai hukuman Allah terhadap siapa saja yang melakukan talak sampai 3 kali kepada seorang istri.   

Karena keinginan nafsu untuk kembali menikah secepat kilat, banyak mantan suami yang merekayasa sebuah pernikahan instan nan palsu bagi mantan istrinya yang telah ditalak 3 kali. Kesepakatan dibalik layarpun dibuat bersama laki-laki yang bertindak sebagai muhallil.  Tentunya hal ini terdengar sangat menggelikan.  Kalau nikah semacam ini dapat direkayasa dengan mudah, pastilah efek jera dari hukuman Allah SWT kepada para suami tersebut tidak bermakna.  Dalam hitungan bulan ia dapat lagi menikah dengan istrinya yang telah ditalak 3 kali tersebut.  Alakah mudahnya. Para suamipun kedepan tidak perlu lagi ragu-ragu dan menahan diri, untuk mentalak istrinya sampai 3 kali, karena proses untuk menikah kembali cukup mudah.  Karenapun laki-laki yang berprofesi sebagai muhallil telahpun siap sedia setiap saat menjemput mangsanya yang baru.  Kemudian anak yang tidak jelas statuspun bertambah di dunia Islam, sungguh nikah tahlil merusak peradaban.  Apakah hal yang seperti ini yang kita inginkan dalam agama.  Inilah bahayanya merumuskan hukum agama dengan hanya mempertimbangkan faktor lahiriah semata dan dengan hanya melihat tekstual dalilnya saja, tanpa mengetahui hikmah dari dalil tersebut. 

Nikah tahlil adalah sebuah rekayasa nikah yang menjijikkan, akad yang baik tetapi dengan niat yang kotor.  Hanya dengan nikah yang sahih sebuah pernikahan menjadi sah, selain daripadanya adalah kemungkaran.  Sudah sepatutnya kita merujuk kembali kepada Allah SWT, sebelum  menfatwakan hukum-hukum dalam agama, melalui mereka yang telah dipercaya menerima cahaya dari ilmuNya.  Jangan merasa cukup, dengan hanya mengandalkan berbagai ilmu ma’lumat saja.