Memahami Hakikat Kewujudan Diri

Wahai saudaraku, para Ahli Ma’rifah mengetahui dengan pasti siapa diri mereka, dari mana mereka berasal dan kemana mereka akan kembali.  Ilmu ma’rifah mengandungi pengetahuan kepada Allah sekaligus pengetahuan untuk mengenal diri.  Seseorang tidak akan mengenal Allah SWT tanpa lebih dahulu mengenal diri.  Mengenal diri yang kami maksudkan disini bukan mengenal identitas keduniaan seseorang, seperti  kapan dia dilahirkan, dari suku bangsa apa dan sebagainya.  Mengenal diri disini adalah mengenal hal-hal yang berkenaan dengan kewujudan diri.  Kita mesti bisa menjawab beberapa pertanyaan penting, seperti darimana kita mendapatkan kewujudan seperti sekarang ini?. Wujudkah diri kita dengan wujud yang sebenar?. Apa hubungan wujud kita dengan wujud Allah SWT?. dan masih banyak pertanyaan penting lainnya yang mesti kita jawab, karena mengenal diri menjadi kunci bagi mengenal Allah SWT.  

Ketahuilah, alam semesta  dan seluruh isinya, termasuk manusia di dalamnya adalah maha karya Allah SWT yang tiada tandingan.  Kesempurnaan penciptaan mencerminkan kesempurnaan Allah SWT sebagai pencipta.  Manusia adalah sebaik-baiknya penciptaan Allah SWT di atas permukaan bumi.  Tetapi taukah kita bahwa seluruh alam semesta berserta isinya adalah bagian dari kewujudan Allah SWT. (Baca: Kajian Ma’rifatullah No.02)  Argumentasi apapun yang digunakan tidak akan mampu menjelaskan keterpisahan alam dengan wujud Allah SWT.  Dengan memakai instrumen yang manakah? agar manusia sadar akan  hakikat kewujudan diri mereka.  Jawabannya hanya dengan cahaya ma’rifah dari Allah SWT.  

Semua pihak akan selalu gagal memahami keesaan wujud Allah SWT tanpa bimbingan cahaya ma’rifah dari pintu kemurahanNya.  Nur ma’rifah tidak dapat dikesan hanya dengan mengandalkan hati yang kotor dan akal manusia yang terbatas. Akhirnya untuk menghindari keputus asaan mereka yang awam,  Allah SWT menghendaki penafsiran  akan keesaan wujudNya dalam makna sebagai satu zat yang tidak tersusun dari urat, darah, dan gapah. Maha bijaksana Allah SWT dengan segala ketetapanNya.    

Mengakui Kewujudan diri

Saudaraku,  bias dari pengakuan atas kewujudan diri sangatlah luas. Ia melahirkan penyekutuan yang sempurna kepadaNya.  Ketertipuan makhluk dari hijab Allah SWT sudah semestinya bagi mereka. Peran hijab sangatlah penting untuk mendukung menyelaraskan jiwa yang awam ketika melihat penampakan alam yang fana.  Hijab dan Ma’rifah adalah dua perbendaharaan Allah SWT yang tidak akan bersamaan kejadiaannya.  Ketika seseorang terhijab daripadaNya, pastilah ia belum memperoleh cahaya ma’rifah. Dan ketika cahaya ma’rifah menerpa hijabpun menghilang entah kemana. Kekallah alam mereka yang awam kepada dua wujud, dua sifat dan dua perbuatan.  Setiap diri memiliki corak dan warna, bagi yang awam memiliki banyak ragamnya, bagi yang ‘Arif hanya satu sahaja, yaitu ragam yang esa, ragamnya Allah SWT.  

Pengakuan atas kewujudan diri pada manusia membuat ia lalai dari kesadaran akan eksistensi Allah SWT sebagai pemilik absolut atas segala wujud, segala sifat dan perbuatan.   Semakin dalam manusia membenamkan dirinya dalam pengakuan kewujudan diri, semakin ia tertinggal jauh dari hamparan ma’rifah Allah yang esa.  Tiada sesiapa yang sanggup menyelamatkannya selain dari kemurahanNya.  Dan akhirnya manusiapun sadar bahwa tenggelam dan selamat, ingat dan lalai, tidur dan terjaga, kesemuanya dari gerak kewujudanNya semata. 

Hakikat Fana (Fanabillah)

Wahai saudaraku, para ahli ma’rifah yang telah sempurna seperti ‘Arifin, tidak merasakan lagi kesengajaan pada setiap gerak dan isyarah mereka.  Perlu kita ketahui suasana ma’rifah pada derajat tertentu, hanya Allah SWT peruntukkan bagi manusia yang Ia tempatkan pada derajat tersebut. Ia tidak dapat dirasakan dan amalkan oleh mereka di derajat ma’rifah yang lain.  Fananya seorang ‘Arifin tidak akan pernah dapat dijelaskan, selain oleh ‘Arifin itu sendiri. Fananya para ‘Arifin, bukanlah dari kesengajaan mereka memfanakan diri, dan juga bukan mabuknya mereka dalam memandang keelokan wujud Allah. Tetapi justru fananya mereka, karena Allah SWT mendudukkannya di puncak kesadaran yang utuh, dengan memperjalankan mereka kepada merasakan keberadaan wujud yang sebenar, yaitu wujud Allah SWT. Maksud fana disini bukan dalam arti tanpa kendali, seperti orang yang hilang kesadaran. 

Dengan bahasa yang mudah dimengerti fana = sadar, sadar akan realitas sesungguhnya bahwa ternyata hanya ada satu wujud saja yang hakiki, yaitu wujud Allah SWT.  Fana meliputi tergantinya pengetahuan dan  yang lama dengan pengetahuan yang baru. Dulu merasa wujud diri adalah wujud yang terpisah dari Allah, ternyata rupanya dari wujud Allah yang satu, dulu merasa  gerak diri adalah gerak yang terpisah dari Allah, ternyata rupanya dari gerak Allah yang satu, dulu merasa penglihatan dan pendengaran adalah penglihatan dan pendengaran diri yang terpisah dari Allah, ternyata rupanya dari penglihatan dan pendengaran Allah yang satu, dan begitulah seterusnya Allah SWT mengganti pengetahuan yang lama dengan pengetahuan yang baru, pengetahuan  yang hakiki disisiNya.    

Hakikat Kewujudan Allah SWT. 

Wahai saudaraku, tiada yang mengetahui bagaimana sebenar hakikat wujud Allah, para ‘Arifin hanya diberi pengetahuan sebatas merasakan menjadi bagian dari wujud Allah yang satu, tanpa mengetahui dan melihat hakikat wujudNya. Hakikat ma'rifah para 'Arifin adalah ma'rifahnya mereka kepada wujud diri yang merupakan bagian dari wujud Allah, bukan ma'rifah kepada wujud Allah secara utuh. Ketika mereka memberitahukan bahwa wujud alam adalah bagian dari wujud Tuhan, maka dengan serentak orang awam membantahnya dan menuduh mereka sebagai pengikut ajaran pantheisme yang telah menjadi kafir.  Ketika mereka  awam membantah, seolah-olah ia mengetahui dan pernah melihat bagaimana  wujud Allah sesungguhnya, yang ternyata tidak seperti yang dikatakan oleh para ‘Arifin, sehingga mereka berani membantah dan mengkafirkan mereka para ahli ma’rifah tersebut. 

Ketahuilah, sah tidaknya sebuah perbantahan dilakukan bila seseorang memiliki fakta yang lebih benar, baru sepatutnya ia  dapat membantah pendapat orang lain sebelumnya, karena pendapatnya lebih kuat sebab didukung oleh fakta yang benar, bukan sangkaan semata.  Tetapi sebaliknya jika ia tidak memiliki fakta yang lebih kuat, maka hendaklah ia diam, ini kaedah perbantahan yang bijak. Karena gugurnya sebuah teori dengan keluarnya teori baru yang memiliki fakta kebenaran  yang lebih kuat.  Perlu kami ingatkan bahwa ma’rifah para ‘Arifin kepada Allah SWT adalah ma’rifah pada wujudNya, bukan kepada zatNya.  

Kemudian maksud bagian dari wujud Allah yang satu, adalah kesatuan wujud, bukan  kebersatuan wujud. Makna “kesatuan” adalah bagian dari satu wujud. Sedangkan makna “kebersatuan” adalah bergabungnya dua wujud yang mandiri menjadi satu, arti mandiri berdiri mereka dengan qiyamuhu binafsih.  Bantahan orang ramai kepada ‘Arifin, dikarenakan pada diri mereka masih membayangkan maksud Allah yang esa (satu), adalah Ia memiliki bentuk yang utuh dan padu, seperti utuh dan padunya sebuah benda tertentu. Dan mereka juga membayangkan yang namanya Tuhan itu pasti tempatnya di suatu ketinggian seperti langit. 

Selanjutnya berkaitan dengan banyaknya peringatan bagi manusia akan ketidaksamaan Allah SWT dengan makhluk (Laisa kamitslihi syaiun). Peringatan tersebut Allah khususkan kepada  yang masih Allah tempatkan mereka pada derajat awam, yang belum sanggup melepaskan diri dari membayangkan atau menyamakan Allah SWT dengan sesuatu.  Mereka belum mendapatkan bimbingan dari nur ilmu Allah SWT.  Oleh karenanya mereka rentan akan kesalahan, apabila mencoba membayangkan bagaimana hakikat Tuhan sebenarnya. Tidaklah seseorang yang masih Allah perjalankan pada jalan lahiriah sahaja, akan dapat memahami hal-hal yang berkaitan dengan hakikat keTuhanan, oleh karena itu mereka perlu diingatkan berulang kali jangan sampai menyamakan Allah SWT dengan makhluk yang baharu. Sebaliknya para ahli ma’rifah mendapat derajat sebagai ‘Arifin disisi Allah SWT, justru karena telah dibebaskannya mereka dari mempersekutukan dan menyamakan diriNya dengan makhluk yang baharu. Karena tidaklah mendapati seseorang akan derajat  ‘Arifin, bila ia masih mempersekutukan dan menyamakan Allah SWT dengan makhluk.  

Para ‘Arifin adalah sebagian dari manusia setelah para Nabi dan Rasul yang sempurna dalam mentauhidkan Allah SWT.  Jika peringatan tersebut dimaksudkan untuk mereka, akan terjadi yang namanya tahsilul hasil. Perlu dicatat para ‘Arifin tidak pernah mengatakan bahwa Allah SWT sama dengan makhluk, kata sama menunjukkan perbandingan dàri dua wujud yang sederajat. Mereka mengatakan “hanya merasakan bagaimana sebenarnya menjadi bagian dari wujud Allah yang satu”. Perlu dibedakan kiranya arti merasakan dengan menyamakan, tentu tidak sama maksudnya. Di tambah lagi maksud kata "bagian" pada pernyataan di atas, menunjuki kepada  keuTuhan wujud Allah yang satu. Arti bagian, tidak terpisah dan tidak berdiri sendiri. Justru disinilah letak pentauhitan yang sangat tinggi para ‘Arifin kepada Allah SWT. 

Merasakan  hadir bersama Allah SWT adalah lebih utama, karena itulah yang dinamakan ihsan. Merasakan kuasa yang ada pada diri adalah takluk dari kuasa Allah, merasakan kehendak yang ada pada diri adalah takluk dari kehendak Allah, merasakan ilmu yang ada pada diri adalah takluk dari ilmu Allah, merasakan penglihatan dan pendengaran yang ada pada diri adalah takluk dari penglihatan dan pendengaran Allah, dan seterusnya.  Inilah subtansi dari pernyataan mereka ‘Arifin di atas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar