Memahami Hakikat Kewujudan Allah


Wahai saudaraku ketahuilah, Allah SWT menjadikan segala yang baharu sebagai hijab antara diriNya dengan manusia. Hijab adalah satu dinding batiniah yang ketebalannya setebal kejahilan manusia, dan ketinggiannya setinggi ma’rifah Wali dan ‘Arifin kepada wujud Tuhannya.   Adalah Allah SWT tuhan yang senatiasa dapat dilihat wujudnya.  Melihat wujud Tuhan tidak meliputi melihat zatNya. Dalam kajian kami mengenai hakikat ma'rifatullah membicarakan ma'rifah pada wujud, bukan ma'rifah kepada zat Allah SWT. Terdapat perbedaan yang mendasar antara melihat wujud dengan melihat zat.  Ketika kita melihat  rupa, bentuk dan warna dari buah apel, sesungguhnya kita baru ma’rifah kepada wujud dari buah apel tersebut, belum sekali-kali kita telah ma’rifah kepada zatnya.  Kapan kita dikatakan telah ma’rifah pada zatnya, pada sa’at kita telah merasakan daging dari buah apel tersebut. 

Melihat wujud Allah SWT tidaklah menggunakan kedua mata dzahir, akan tetapi dengan cayaha ma’rifah yang terpancar di dalam batin.  Allah SWT bukanlah wujud yang ghaib sehingga tidak dapat dilihat, cuma cara kita melihat mesti menggunakan instrumen khusus, yaitu hati yang bersih dari ingatan kepada makhluk.  Karena pembicaraan di level ma’rifah, adalah pembicaraan yang telah putus mengenai hakikat wujud dan hakikat sifat, ia hanya tertentu bagi Allah SWT saja.  Pembicaraan di level ma’rifah adalah pembicaraan yang tidak mengikut sertakan makhluk di dalamnya,  karena hakikat makhluk tidak dengan qiyamuhu binafsih adanya, setiap yang tidak berdiri dengan sendirinya pastilah  tidak memiliki wujud, dan membicarakan sesuatu yang tanpa wujud adalah sia-sia.   

Ketahuilah, alam lahiriah akan selalu terlihat seperti berdiri sendiri dan bebas dari keikutsertaan Allah SWT di dalamnya.  Sejumlah objek dan peristiwa telah menghijab manusia dari melihat eksistensi Tuhannya.  Masih segar dalam ingat kita bagaimana pedihnya nasib saudara kita di negeri Syam, Palestin dan Myanmar.  Hampir semua dari kita mengecam, melaknat, mengutuk, menyalahkan dan sebagainya. Dimana Allah SWT ketika tank dan buldoser israel meratakan pemukiman muslim di palestin?, dan dimana Allah SWT ketika bom dijatukan dan meledak di Aleppo?, dan dimana Allah SWT ketika muslim Rohingnya harus lari terbirit-birit meninggalkan kampung halaman mereka, ketiga peluru-peluru liar ditembakkan dari senjata jutha meliter ke arahnya.  Bagaimana bisa Allah SWT tidak mencegah kekejian itu terjadi, bukankah Ia tuhan yang kuasa, seperti kuasa Ia  membelah Laut Merah bagi Bani Israil, dan seperti kuasa Ia menghentikan geraknya matahari bagi Nabi Yusak Bin Nuen.  Kenapa Ia biarkan ini semua terjadi?.

Kalau kita sambung lagi ocehan di atas bunyinya akan seperti ini “sungguh Ia tuhan yang tidak bertanggung jawab kepada hambaNya, Ia mengaku diri sebagai pemelihara, ternyata membiarkan begitu saja manusia bertarung seperti binatang, siapa yang kuat dia yang menang. Kalau memang begitu kejadiannya, benarlah si Charles Darwin seorang Britania yang mengatakan  dalam Teori Evolusinya, bahwa  adanya seleksi alam, siapa yang kuat ia yang bertahan, siapa yang kalah ia akan musnah, tidak ada pengaturan tuhan dalam kehidupan, bahkan tuhan itupun tidak ada”.  Begitu sempurnanya Allah SWT menjadikan objek dan peristiwa sebagai hijab bagi mereka yang masih jahil dan awam.   Sebenarnya  Allah SWT 100/100 telibat di dalam semua objek dan peristiwa, dan justru  sebaliknya Ia sendirilah yang menjadi subjek dari semua objek dan peristiwa tersebut.   

Saudaraku, melihat objek dan peristiwa di atas orang ramai ikut berkomentar menurut makamnya masing-masing. Mereka yang jahil mungkin mengatakan, apa yang telah menimpa saudara kita di atas disebabkan kebencian orang-orang kafir kepada Islam, dan juga karena lemahnya mereka dalam mempertahankan haknya.  Kemudian orang awam menambahkan, setiap bencana yang menimpa manusia disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri, karena tidak ta’at kepada Allah SWT, sehingga Ia mengirimkan bala seperti di atas.  

Dan para Salik (Sufi) berkeyakinan segala bencana adalah cobaan dari Allah SWT kepada hambanya, tidaklah dikatakan manusia itu beriman sebelum diuji olehNya.  Para Wali tidak melihat bahwa suatu bencana ada kaitannya dengan menusia, ia adalah murni dari perbuatan Allah SWT, tanpa menjadikan manusia sebagai sebab.  Allah SWT berbuat sesuatu karena Ia menghendaki berbuat sesuatu, bukan disebabkan oleh sesuatu yang lain. Tidaklah para makhluk berpengaruh kepada perbuatan Allah SWT.  

Dan sampailah kita pada kebenaran yang sesungguhnya, yaitu kebenaran dari mereka  para ‘Arifin.  Manusia yang telah sempurna dalam mentauhidkan tuhannya, ia tidak lagi melihat segala objek dan peristiwa berada diluar kewujudan Allah SWT,  mereka merasakan dan mengetahui dengan pasti setiap harkat gerak dari semua objek dan peristiwa adalah harkat gerak Allah SWT.   

Wahai Saudaraku, para Waliyullah tidaklah beranggapan seperti mereka awam di atas, yang meyakini setiap bencana disebabkan oleh ketidak ta’atan manusia kepada Allah SWT, sehingga Ia mengirimkan bala buat mereka. Hal ini mengandungi makna bahwasanya Allah SWT bersifat dengan sifat amarah. Amarah disebabkan oleh kekecewaan, dan kekecewaan disebabkan oleh adanya maksud, dan maksud disebabkan oleh adanya tujuan, dan tujuan disebabkan oleh adanya manfa’at yang ingin diperoleh.  Maha suci Allah SWT dari bertujuan mengambil manfa’at atas makhluk, Ia menciptakan segala yang baharu dengan tidak bermaksud apa-apa (la maksudalah).  

Adapun ibadah dan keta’atan hamba kepadaNya kembali manfa’atnya kepada hamba yang bersangkutan, bukan kepada Allah SWT.  Tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia selain mengandungi hikmah untuk mengabdi kepadanya, yang manfa’at pengabdian tersebut kembali kepada mereka, bukan kepada Allah SWT.  Ia adalah zat yang ghaniyul mutlak, tidak bergantung dan tidak berhajat kepada siapapun.

Menyentuh pengetahuan kepada kewujudan Allah, tidak ada yang lebih mengetahui selain mereka para ‘Arifin. Melihat hakikat kewujudan Allah melalui pengetahuan hakikat dari kewujudan diri.  Alam yang baharu akan selalu menjadi hijab bagi siapapun yang belum Allah ma’rifahkan ia dengan nur ilmu dari padaNya. Dan  Siapa saja akan selalu gagal melihat kepada Tuhannya, sebelun melihat kepada diri, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.  

Pada hakikatnya manusia dan seluruh makhluk lainnya tidak memiliki kewujudan dalam bentuk apapun.  Setiap gerak tentara zionis maju merebut pemukiman muslim dengan kewujudanNya, dan gerak bom berjatuhan dan meletak juga dengan kewujudanNya, dan ketika gerak junta meliter melepaskan peluru juga dengan kewujudanNya.  Setiap gerak terkandung di dalamnya kuasa, dan setiap kuasa terkandung di dalamnya kehendakNya, dan kehendakNya adalah sifat, dan sifatNya adalah qadim, dan setiap yang qadim berdiri pada zat yang qadim, dan zat yang qadim berada dalam wujud yang qadim, dan yang memiliki wujud yang qadim hanya Allah SWT.  

Mudah-mudahan dengan memahami secara mendalam maksud tulisan kami, akan mengetahui bagaimana sebernarnya hakikat kewujudan  Allah SWT. Mudah-mudahan Allah SWT menyempurnakan ma’rifah kita kepadaNya.