Menyelami Rohani Para 'Arifin


Wahai saudaraku, Bagian terjauh dari sisi manusia berada pada bidang hamparan rohani mereka, ia tidak terjangkau dan terjamah oleh dunia luar daripadanya. Ma’rifah kepada   Allah SWT berkaitan erat dengan keadaan  rohani.  Kedewasaan dalam berpikir, teliti sebelum bertindak dan bijak dalam mengambil sikap adalah sebahagian ciri dari telah sempurnanya kondisi rohani seseorang. Rohani para 'Arifin berbeda dan berbanding terbalik hal keadaannya dengan mereka yang berada di bawah derajatnya,  kebanyakan daripada mereka tidak dikenali dan tidak diketahui keberadaannya .  Hal ini dikarenakan Allah SWT lebih banyak memilih dan megangkat  para 'Arifin dari hambaNya yang terlihat sebagai seorang yang biasa-biasa saja pada awalnya.  Mereka tidak memiliki karakter khusus, tidak mewakili icon tertentu dalam masyarakat, tidak semisal ulama sejuta umat, orang-orang shalihin, para fuqaha' dan sebagainya. Ditambah lagi dengan keberadaan mereka sebelumnya yang tidak begitu berkecimpung dalam aktivitas keagamaan, tidak menguasai kitab kuning, tidak mendalami ilmu alat (tata bahasa arab) dan tidak intens terlibat dalam proses belajar mengajar ilmu agama.  Akan tetapi dengan tanpa disangka-sangka  Allah SWT secara majdub  memilih dan mengangkat ia menjadi ‘Arifin, dengan dibekali ilmu laduni dan makhasyafah.   Sebagaimana telah kami jelaskan pada Kajian Ma’rifatullah No. 12 sebelumnya,  Allah SWT menghendaki orang awam salah dalam mempersepsikan bagaimana seharusnya karakter seorang ahli ma’rifah, sehingga yang tadinya mereka adalah orang yang perlu di perhatikan jadinya dianggap orang biasa dan bahkan tidak dikenali karena mereka bukan tokoh ulama yang populer dikalangan masyarakat.  

Ketahuilah, ma’rifah akan Allah SWT tidak berhajat kepada ‘alim dalam ilmu agama. Definisi ‘alim bagi masyarakat awam adalah menghafal dan menguasai berbagai dalil beserta syarah dari kitab-kitab hukum agama.  Tentunya hal ini telahpun juga kami uraikan sebelumnya didalam Kajian Ma’rifatullah No. 8.  

Kembali lagi kepada topik kajian kita mengenai keadaan rohani ahli ma’rifah.  Menyelami rohani para ahli ma’rifah terasa seperti mengarungi ladang luas tak bertepi, didalamya tumbuh sejuta hikmah dari keagungan pengesaan kepada Allah SWT.  Keseluruhan hikmah bermuara pada kemurnian pentauhitan, yang denganNya mereka mengetahui, menyadari dan merasakan alam dan isinya merupakan bagian dari wujudNya, segala sifat dan gerak adalah sifat dan gerakNya jua. Menguraikan satu persatu hikmah dari perbendaharaan ‘Arifin tidaklah mungkin dapat diwujudkan dalam kajian yang singkat ini.  Namun  demikian kami akan mencoba menyelami dua hikmah saja dari perbendaharaan mereka.   

Hikmah Pertama: Hakikat Keta’atan  

Saudaraku, menta’ati perintah agama merupakan kewajiban bagi insan yang beriman kepada Allah dan RasulNya, apakah perintah itu hukumnya wajib atau sunat.  Bagi orang awam keta’atan dalam melaksanakan perintah agama merupakan  usaha bagi melepaskan diri dari ancaman siksa neraka, yang tentunya surga sebagai tujuannya.  Untuk seorang Sufi keta’atan dalam melaksanakan perintah agama adalah menifestasi atas kecintaan mereka kepada Allah SWT, tanpa menjadikan syurga sebagai tujuannya.

Selanjutnya keta’atan dalam melaksanakan perintah agama bagi Wali dan Muqarrabin merupakan kemurahan dari hasil kehendak perbuatanNya. Kemudian para ‘Arifin merasakan  keta’atan dalam melaksanakan perintah agama adalah gerak dari wujudNya. Ia ‘Arifin tidak merasakan gerak keta’atan adalah gerak ta’at dari dirinya dan tidak pula mereka memberi nama gerak tersebut dengan nama perbuatan keta’atan.  Karena definisi keta’atan adalah patuh kepada Allah SWT yang oleh mereka ‘Arifin kepaTuhan dan pembangkangan kepada Allah adalah sama maknanya bagi mereka, artinya kedua-duanya datang dari Allah SWT sebagaimana yang Ia dikehendaki saja. 

Seseorang patuh karena Allah SWT menghendaki ia patuh dan sebaliknya seseorang membangkang atas perintahNya karena Ia menghendaki mereka membangkang kepada diriNya. Para ‘Arifin tidak merasakan ibadah sebagai ibadah, mereka merasakan ibadah sebagai gerak dari Allah SWT. sehingga mereka tidak merasakan diri telah berbuat sesuatu hingga terlepas dari ancaman neraka dan juga tidak merasa diri sudah patut menduduki syurga. Bahkan mereka tidak ingat kepada syurga dan neraka, karena kedua-duanya adalah makhluk yang merupakan bagian dari wujudNya jua. 

Wahai saudaraku ketahuilah, Allah SWT menghendaki ketika mereka awam melaksanakan ibadah shalat, ia mengerjakannya dengan sesempurna mungkin demi sah diterimanya ibadah shalat tersebut. Mereka meyakini diterima tidaknya ibadah tergantung pada kesempurnaan usaha dalam menjaga diri  dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala dan membatalkan shalat.  Lain halnya dengan para Salik,  Allah  SWT menginginkan mereka ketika melaksanakan ibadah shalat senantiasa tetap menjaga ihsan mereka kepadaNya.  

Bagi seorang salik membina kesempurnaan ibadah shalat semestinya di latih diluar shalat, sehingga ketika mereka melaksanakan shalat hal-hal yang perlu dijaga akan dengan sendiri secara dharuri telah sempurna.  Artinya  ketika seseorang akan melaksanakan perjalanan musafir ke tempat tujuan tertentu maka sebelum ia berangkat terlebih dahulu ia telah memastikan segala persiapan telah sempurna, dan ketika ia mulai bermusafir maka yang selalu diingat olehnya tempat tujuan musafir tersebut, bukan barang bawaan dan kondisi kendaraannya, itulah tamsilannya membina kesempurnaan ibadah shalat di latih dan dipersiapkan diluar shalat.  Kalau dalam shalat ia mengingat yang lain selain Allah, maka yang lain tersebut adalah makhluk bukan Allah, walaupun ia bagian dari shalat seperti menjaga makhrajal huruf, tajwid dan sebagainya.   

Para Wali dan Muqarrabin tidak mempersoalkan lagi sah atau tidaknya shalat, diterima atau tidak diterima, bagi mereka shalat adalah kesempatan yang diberikan oleh Allah bagi mengabdi dan menghambakan diri penuh cinta kepadaNya. Mempersoalkan sah atau tidak sahnya shalat karena mengingat kepada perlunya pendapatkan pahala, yang mana hal itu bukanlah menjadi tujuan dari Wali dan Muqarrabin beribadah. Kalaupun mereka memperhatikan kesempurnaan ibadah semata-mata dilakukan demi sempurnanya pengabdian dan penghambaan diri kepadaNya, tidak lebih daripada itu.   

Akhirnya  para ‘Arifin jualah yang mengatahui hakikat dari ibadah sebenar. Gerak usaha dalam menyempurnakan ibadah, gerak menjaga ihsan dalam ibadah,  gerak pengabdian dan penghambaan dalam ibadah, semuanya adalah gerak dari wujud yang satu.  Setiap gerak berasal dari satu wujud dan setiap wujud berasal dari satu zat, dan tiada lain yang memiliki zat melainkan Allah SWT.  

Makna ibadah shalat bagi para ‘Arifin sebagai wujud pentauhitan yang paling dalam kepada Allah SWT, karena setiap gerak rukun qalbi, fi’li dan qauli kesemuanya dapat mereka rasakan sebagai gerak dari wujud yang satu, yaitu Allah SWT. Tentu hal ini tidak akan dapat dirasakan oleh mereka di derajat ma’rifah yang lain.  

Hikmah Kedua: Hakikat Kemaksiatan

Wahai saudaraku, Allah SWT dan Rasulnya menghendaki kita menjauhi setiap larangan dalam agama termasuk salah satu diantaranya melakukan perbuatan maksiat. Banyak kerusakan di atas permukaan bumi diawali sebelumnya dengan perbuatan maksiat, demikianlah Allah SWT menghendaki.  Orang awam beranggapan banyaknya perbuatan maksiat yang dilakukan menjadi sebab bagi Allah SWT menurunkan bala kepada umat tertentu seperti bencana  alam,  wabah penyakit, kelaparan, kesempitan rizki, buruk kesudahan dan sebagainya. 

Lain hal bagi seorang Sufi, melazimkan diri dalam berbuat maksiat dapat menyebabkan kotornya hati hingga meredupkan cahayanya menjadi buta. Menjaga hati agar selalu bersih dan bercahaya menjadi prioritas bagi seorang sufi. Dengan terbitnya cahaya hati sang sufi akan dapat melihat selalu keangungan dan keindahan Allah SWT. Redupnya cahaya hati akan meredupkan cahaya iman. Kotornya mata hati akan menyebabkan bangkitnya  nafsu amarah.  

Bagi seorang sufi mendidik hawa nafsu mereka adalah tugas utama dalam berthariqah, dari derajat amarah kepada lauwamah, mulhamah hingga akhirnya mudhma’innah.  Adapun setiap musibah yang Allah SWT datangkan kepada setiap umat islam, mereka tidak melihatnya sebagai bala, akan tetapi merupakan cobaan baginya. Jangan mengakui diri beriman kepada Allah SWT sebelum kita dicoba olehNya. Selanjutnya Wali dan Muqarrabin melihat Allah SWT pemilik semua perbuatan. Ia berbuat sesuatu karena memang ingin berbuat sesuatu, bukan disebabkan/dipengaruhi oleh sesuatu yang lain. Ia yang menghendaki terjadinya bala tanpa menjadikan kemaksiatan sebagai sebabnya. 

Kemaksiatan dan bala murni dari perbuatanNya, keduanya tidak memiliki hubungan sebab akibat sama sekali walaupun berurutan dan bersamaan kejadiannya.  Apapun realitasnya semua berasal dari perbuatan Allah SWT. Kemudian para ‘Arifin hanyut dalam pengesaan kepada wujud yang satu. Mereka  hilang dari kewujudan diri, mendapati kefanaan kepada wujud Tuhannya. Merasakan semua gerak adalah gerak dari wujudNya, meliputi gerak maksiat didalamnya. Hal ini juga tidak dapat dirasakan oleh mereka di derajat ma’rifah yang lain. Membicarakan bahwa perbuatan maksiat merupakan bagian dari perbuatan Tuhan, adalah pembicaraan yang sangat rentan akan protes ketidaksetujuan dari mereka kalangan derajat ma'rifah bawah. 

Wahai saudaraku ketahuilah, para 'Arifin telah Allah SWT tempatkan dalam hadlrah al-nur al-mahdl (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang perbuatannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadlarah al-zhulmah almahdl (hadirat kegelapan murni). Pengalaman spiritual 'Arifin, sebagaimana yang disebutkan oleh Iman Al Ghazali, adalah berada pada kondisi fana’. Abu Yazid Busthami mengartikan fana adalah sirnanya tabiat kemanusiaan bersama segala identitas dan bekasnya kembali kepada kesadaran sebagai bagian dari wujud Tuhan. 

Menurut Syekhul Akbar Abu Muhyeddin Ibnu 'Arabi, fana’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (Fana’ ‘an shifat Al-Haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqa’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak, yaitu wujud Allah SWT.  Untuk sampai kepada keadaan demikian seorang 'Arifin secara gradual diperjalankan olehNya melewati enam tingkatan fana’ yang mendahului, yaitu:  

a. Fana ‘an al-Mukhalafat (sirna dari segala dosa), pada tahap ini para 'Arifin memandang bahwa semua tindakan yang bertentengan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ini mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segala perbuatan. Dalam tahap inilah para 'Arifin berada dalam hadlrah al-nur al-mahdl (hadirat cahaya murni).  

b. Fana ‘an af’al al-‘ibad (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap ini para 'Arifin menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan. Dengan demikian, mereka menyadari adanya “satu wujud mutlak” dalam alam ini, yakni Allah SWT.   

c. Fana ‘an shifat al-makhludin (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini para 'Arifin menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, para 'Arifin menghayati segala sesuatu dengan kesadaran keTuhanan; ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.   

d. Fana ‘an al-dzat (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini para 'Arifin menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah Dzat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.   

e. Fana ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini para 'Arifin menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal. Yang benar-benar ada hanya Realitas yang mendasari fenomena.   

f. Fana ‘an kull ma siwa ‘l-Lah (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini para 'Arifin menyadari bahwa dzat yang betul-betul ada hanya Dzat Allah.  Wahai Saudaraku, beribu kata dan berjuta kalimat tidak akan sanggup menjelaskan hakikat segala wujud dan gerak kepada mereka di derajat bawah. Hanya kepada yang dikehendakinya saja, akan mampu memecahkan segala misteri subjek di balik gerak perbuatan manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar