Memahami Perbedaan Jama'ah Salik Buta Dengan Ahli Ma'rifah

 
Wahai saudaraku ketahuilah, ma’rifah kepada Allah SWT tidak didapati melalui belajar, berpikir atau dengan kegiatan ritual tertentu. Ma’rifah adalah pengetahuan melalui nur, bukan sejenis ilmu ma’lumat yang bisa diajarkan, ia hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh mereka para ‘Arifin saja.  Sangat mustahil kiranya bila ada jama’ah tertentu menyatakan diri mereka telah ma’rifah kepada Allah melalui ilmu yang diajarkan oleh guru mereka.   Pepatah sufi mengatakan “Janganlah naik terlalu tinggi  sebelum Allah menaikkan kita”.  Dalam beberapa posting sebelumnya kami telah menegaskan berulang kali, bahwa ma’rifatullah datangnya dari keinginan Allah untuk memperkenalkan diriNya kepada hamba,  bukan hasil dari keinginan dan usaha manusia.  Ma’rifah tidaknya seseorang sangat tergantung dengan adanya nur ma’rifah pada dirinya.  Perlu dibedakan sesuatu yang datang langsung dari Allah SWT dengan sesuatu yang datang melalui jalan usaha manusia.

Masalah Nur dan Hakikat Ma’rifah

Saudaraku, pengkajian terkait  ma’rifatullah tidak membicarakan hakikat daripada nur ma’rifah, karena ia bukan sesuatu yang dapat dimengerti oleh mereka selain ‘Arifin.  Tetapi ruang lingkup pengkajian ma’rifatullah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat kewujudan Allah SWT, yang bersumber dari khabar para ‘Arifin terdahulu.  Dan sejauh manapun pembicaraan di dalamnya tidak akan membuat  seseorang menjadi ma’rifah kepada Allah SWT.  Ia hanya sebagai ilmu ma’lumat saja, guna mengetahui ruang lingkup ma’rifah bukan menghasilkan ma’rifah kepada Allah SWT.  Tidak serta merta pembicaraan ma’lumat ilmu ma’rifah menghantarkan seseorang menjadi ma’rifah kepadaNya.  Disinilah letak kerancuan pada diri mereka jama’ah salik buta, menyangka diri telah ma’rifah hanya dengan membicarakannya saja.

Ketahuilah, nur ma’rifah dari Allah SWT hanya tertentu saja bagi yang dikehendakiNya. Ia bukanlah sejenis ilmu yang dapat diajarkan. Oleh karenanya tujuan dari pengkajian ma’rifatullah adalah memberi pemahaman yang benar mengenai hal tersebut.  Sehingga mengetahui batasan yang dapat di akses dan yang tidak dapat diakses.  Ma’lumat akan  ilmu ma’rifah dapat di akses oleh siapa saja, tetapi ma’rifah itu sendiri tidak dapat di akses tanpa nur ma’rifah dari Allah SWT.  Mungkin saja jama’ah salik buta telah memiliki ilmu ma’lumat akan ma’rifatullah walapun dengan pemahaman yang salah, tetapi pada hakikatnya mereka belum ma’rifah kepada Allah SWT, yang sehingga merasa tidak perlu lagi sembahyang, puasa dan sebagainya.  Yang menjadi ciri ahli ma’rifah bukan meninggalkan berbuat ibadah, tetapi telah sempurnanya mereka mengenal Allah SWT dengan talah terbebasnya ia dari mempersekutukan Allah SWT dengan segala sesuatu, baik pada zat, sifat dan perbuatanNya.  Sempurnanya seorang salik dengan telah  sempurna ia mencintai Allah SWT.  Orang yang mencintai kepada Tuhannya bukanlah mereka  yang merasa telah cukup dalam beribadah,  sebaliknya orang yang mencintai Tuhannya mereka yang tidak ingin meninggalkan ibadah.  

Masalah Kewujudan Allah SWT 

Wahai saudaraku ketahuilah, hakikat wujud hanya tertentu  bagi milik Allah SWT, penisbahan wujud kepada mahkluk secara hakiki tidaklah patut dilakukan, karena kewujudan mahkluk tidak dengan qiyamuhu binasih adanya. Wujudnya mahkluk karena wujudnya Allah SWT, ia tidak wujud dengan sendirinya.  Wujudnya mahkluk bukanlah wujud yang hakiki, ia adalah bagian dari kewujudan Allah SWT.  Maksud mereka ‘Arifin dengan Ittihad dan Hulul bukanlah bersatu atau masuk dan bergabungnya wujud yang satu kepada wujud yang lain, kalaulah maksud mereka demikian maka adanya pengakuan kepada wujud yang banyak.  Kita telah membicarakan bahwa wujud yang sebenarnya hanya wujud Allah SWT, hanya Ia yang wujud dengan qiyamuhu binafsif. Perkataan wujud kepada mahkluk adalah penisbahan kepada wujud Allah SWT.   Dengan ittihad dan hulul para ‘Arifin  ingin mengungkapkan bahwa mahkluk adalah bagian dari wujud Allah.  Tidak ada wujud yang hakiki bagi mahkluk, yang ada hanya wujud Allah.  

Mengakui adanya wujud mahkluk sama saja dengan telah mengakui bersifatnya mahkluk dengan qiyamuhu binasih.  Qiyamuhu binafsih adalah salah satu sifat keTuhanan yang qadim, setiap yang qadim berdiri kepada yang qadim, yaitu Allah SWT,  tidak berdiri kepada  yang baharu.  Kesadaran tauhid inilah yang menjadikan mereka ‘Arifin tidak merasakan dirinya berwujud, karena tidak sah bagi makhluk menyebut dirinya berwujud.  Ia ‘Arifin merasakan dirinya adalah bagian dari kesatuan wujud Allah.  Bukan maksud mereka bersatu, bedakan perbedaan kata “kesatuan” dan “bersatu”. Makna kesatuan “bagian dari wujud yang lain”.  Makna bersatu “bergabungnya dua wujud yang berdiri sendiri (mandiri)”.   Dalam hal ini justru sebaliknya yang perlu dikhawatirkan ‘itiqad mereka selain ‘Arifin, yang menyakini wujud makhluk adalah wujud yang berdiri sendiri.  

Mengakui eksistensi wujud makhluk, seperti mengakui adanya perbuatan makhluk yang memberi bekas, sama saja dengan telah mempersyarikatkan Allah SWT pada wujud dan sifatNya.  Bagaimana mungkin makhluk  dapat memberi bekas pada hal wujud saja tidak mereka miliki.   Selama makhluk tidak bersifat dengan qiyamuhu binafsih, maka selama itupula mereka makhluk tidak memiliki wujud.  Karena makna wujud sesuatu yang berdiri sendiri.  Menempatkan mahkluk sebagai salah satu wujud sama saja dengan telah mempersetarakannya dengan Allah SWT.  Maksud mukhalafah Allah SWT dengan yang baharu adalah mukhalafah pada wujudNya, Allah SWT berdiri dengan sendirinya, makhluk tidak berdiri dengan sendiri.  Setiap yang tidak berdiri dengan sendirinya pastilah tidak memiliki wujud, dan setiap yang tidak memilki wujud pastilah tidak memiliki sifat, dan setiap  yang tidak memiliki sifat pastilah tidak memiliki bentuk, warna dan sebagainya.   Dengan demikian justru mereka yang jahil dari mengenal wujud Allah dan mengenal dirinya, adalah mereka yang mempersekutukan Allah SWT kepada dirinya.    

Wahai saudaraku, dalam pembicaraan mengenai salik buta, sebenarnya ada kesamaan antara ‘itiqad mereka salik buta dengan orang awam yang mengatakan sesat kepada mereka.  Salik buta meng’itiqadkan adanya dua wujud yang bersatu, yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk.  Dan  orang awam juga meng’itiqadkan demikian, meng’itiqadkan adanya dua wujud yang terpisah, wujud makhluk dengan wujud Allah. Satu pihak mengakui bersatu dan yang lainnya mengakui terpisah dari wujud Allah SWT. Yang intinya sama-sama dari mereka mengi’tiqadkan adanya wujud pada diri mahkluk.  Mengi’tiqadkan ada wujud lain yang sederajat dengan wujud Allah SWT, makna sederajat berdiri sendiri, seperti ‘itiqad kaum nasrani yang memperTuhankan Nabi Isa a.s. adalah menyekutuan kepada wujud Allah SWT. Nabiyullah Isa a.s. adalah manusia yang tidak dengan qimuhu binafih adanya. 

Qiyamuhu binafsih meliputi sesuatu yang ada dengan sendirinya tidak bergantung kepada yang lain, seperti wujud dengan wujud diri, kuasa dengan kuasa diri, kehendak dengan kehendak diri, melihat dan mendengar dengan pelihatan dan pendengaran sendiri, dan sebagainya. Jika terpenuhi persyaratan yang demikian baru sah sesuatu disebut memiliki wujud.  Jika tidak, jangan coba-coba meng’itiqadkan yang demikian, karena akan mempersyarikatkan Allah SWT pada wujud, sifat dan perbuatanNya.  Tidak hanya pengakuan diri sebagai Tuhan saja menjadi syirik, tetapi pengakuan diri memiliki wujud terpisah dari wujud Allah juga ikut menjadi syirik.   Sekarang, pahami kalimat berikut:  “Allah SWT tidaklah bersatu dengan makhluk, karena makhluk pada dasarnya memang adalah bagian dari wujudNya”.  Allah SWT mustahil bersatu dengan sesuatu yang tidak memiliki wujud, yaitu mahkluk. Kata bersatu pastilah menunjukkan adanya dua wujud atau lebih,  jika yang wujud hanya ada satu, maka mustahil dikatakan bersatu.  Sehingga mereka yang menyatakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, pastilah mereka yang meng‘itiqadkan diri memiliki wujud, dan orang yang berpendapat demikian pastilah bukan dari kalangan ahli ma’rifah.  

Imam Fakruddin Al Razy mengatakan dalam kitabnya yang bernama Al Mahshul Fi Ushuluddin, “Allah Ta’ala tidak mungkin menyatu dengan lainnya. Karena pada ketika menyatu, jika kekal dan maujud kedua-duanya, maka keduanya itu dua, bukan satu dan jika kedua-duanya tidak ada, maka tidak disebut menyatu, bahkan terjadi yang ketiga. Dan jika tidak ada salah satunya dan kekal yang lain, maka tidak disebut menyatu, karena yang tidak ada tidak akan menyatu dengan yang maujud”.  Maha benarlah mereka yang telah mengkhabarkan ilmu ma’rifah dari Tuhannya, mereka para ‘Arifin.   

Ada banyak sebenarnya perbedaan salik buta dengan para ahli ma’rifah, namun dalam kesempatan ini kita hanya membahas dua item saja. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar