Ciri-Ciri Calon Ahli Ma'rifah

Orang-orang yang dipilih oleh Allah SWT sebagai calon ahli ma’rifah (salik), atas kehendakNya mengawali kehidupan baru mereka dengan merubah begitu banyak hal, secara signifikan menjadi sangat kontras dan berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.  Perubahan diawali dengan merubah sudut pandang dalam melihat eksistensi Allah SWT sebagai pengatur dan pemelihara seluruh sisi kehidupan makhlukNya. Adanya siraman nur ma’rifat menjadikan mereka tidak melihat ada pihak yang terlibat sebagai subjek disemua lini kehidupan kecuali hanya Allah SWT saja.  

Wahai saudaraku, orang awam akan terkejut dan memberi penilaian negatif ketika mendapati para calon ahli ma’rifah sudah mulai berbeda cara kehidupannya dengan mereka, baik dalam hal bermasyarakat, beribadah dan sebagainya. Mereka awam mengetahui bahwa cara bermasyarakat dan beribadah adalah seperti apa yang telah didapatkan dari ikutan dan panutan mereka, yang secara umum membatasi segala hal hanya pada sisi lahiriah saja.  Menurut mereka untuk memperoleh derajat tertentu disisi Allah SWT hanya akan dapat dicapai dengan jalan melaksanakan terlebih dahulu perintah dan meninggalkan larangan dalam agama. 

Mereka tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menentukan sebelumnya siapa yang diangkat sebagai fuqaha’, salik, muqarrabin, wali dan ‘arifin (ahli ma’rifah).  Seorang fuqaha’ Allah perjalankan ia pada mempelajari dan mengetahui hukum-hukum agama dari aspek lahiriah saja karena memang Allah SWT menghendaki ia lahir sebagai fuqaha’ yang demikian, dan sampai kapanpun akan tetap menjadi seorang fuqaha’. Demikian juga seorang salik (Calon Ahli Ma’rifah), Allah perjalankan ia pada jalan menuju ma’rifah karena memang Allah SWT menghendaki ia terlahir sebagai seorang salik.  Segala sesuatu menurut kehendak dan ketetapan Allah SWT saja, tidak menjadikan syarat tertentu sebagai pengaruh terhadapNya. 

Berikut kami uraikan beberapa ciri calon ahli ma’rifah dalam perspektif perbedaan antara mereka dan orang awam.  

Syari’at, Thariqad dan Hakikat

Ketahuilah, berkenaan dengan syari’at, thariqad dan hakikat seorang mukmin wajib mengamalkan ketiga hal tersebut secara bersamaan. Tidak menjadikan unsur yang satu sebagai syarat untuk dapat mengamalkan unsur yang lain. Sebenarnya ada 9 (3x3) unsur yang wajib ada dan mesti dijalani oleh setiap orang beriman. Pertama wajiblah ada padanya 3 ilmu, Tauhid, Figih dan Tasawuf, sebagai bekal untuk menjalani 3 perjalanan, Syari’at, Thariqad dan Hakikat, guna sampai kepada 3 tujuan, Iman, Islam dan Ihsan. Setiap mukmin dalam menjalani kehidupannya tidak boleh meninggalkan satu unsurpun dari yang telah sebutkan. 

Dengan kehendak Allah SWT setiap orang memaknai 3 jalan di atas dengan makna yang berbeda mengikut kepada derajat ma’rifah mereka masing-masing. Dalam pandangan awam syari’at meliputi taat kepada Allah SWT dengan menuntut ilmu agama selama mungkin untuk menjadi ‘alim hingga mampu menguasai berbagai kitab-kitab hukum agama, beribadah sebanyak dan selama mungkin, serta menjauhi segala laranganNya. Kesemua itu bertujuan untuk mendapatkan pahala dan pengampunan dosa sebagai syarat keselamatan menuju kepada balasan syurga. Inilah  makna syari’at yang Allah SWT kehendaki bagi mereka di derajat ma’rifah awam. 

Sedangkat sya’riat bagi seorang salik adalah sebuah media pentauhitan dan pengabdian tulus iklas kepada Allah SWT, dengan tidak menjadikan syurga sebagai tujuan dari padanya. Karena ilmu, syurga dan pengampunan dosa adalah dari kemurahanNya, dengan tidak menjadikan setiap amal sebagai sesuatu yang dapat mempengaruhi bagiNya.  

Makna thariqah bagi orang awam sebagai media untuk memperoleh pegampunan dosa dan mendapati hikmah-hikmah tertentu dari pengamalannya. Untuk para salik thariqah adalah sarana bagi mereka dalam memenuhi tuntutan pelepasan kerinduan kepada Allah SWT, sebagai manifestasi kecintaan terhadap diriNya semata.  

Kemudian Hakikat merupakan pilar utama bagi seorang mukmin, diakui atau tidak segala hal tergantung pada ketetapan hakikat. Makna hakikat bagi mereka awam adalah penetapan akhir Allah SWT atas segala sesuatu, yang mana pada awalnya segala sesuatu tersebut  hanya melibatkan makhluk saja dalam usaha merubahnya. 

Sedangkan menurut para salik hakikat adalah keseluruhan eksistensi Allah SWT dalam hidup dan kehidupan makhluk, baik diawal maupun diakhir berubah atau adanya segala sesuatu.

Perbedaan Nilai-Nilai Dalam Ibadah

Wahai saudaraku, orang awam senantiasa Allah SWT perjalankan pada tataran lahiriah dari sebuah perjalanan kehidupan. Mereka senantiasa mamandang dan menilai segala sesuatu hanya dari sudut pandang lahiriah saja, tidak terkecuali dalam masalah ibadah kepada Allah SWT. Mereka yang awam melihat ibadah adalah serangkaian pekerjaan yang didalamnya banyak Allah lipat gandakan pahala bagi mereka, tentu jika dalam mengerjakannya memenuhi unsur-unsur kesempurnaan dari suatu ibadah. Dan sebaliknya akan membatalkannya jika terjadi hal-hal tertentu didalamnya, walau hal-hal tertentu itu diluar subtansi tujuan daripada ibadah. 

Seperti halnya dalam ibadah shalat, para fuqaha’ meyakini bahwa pada saat melakukan sujud apabila terhalang sedikit saja sujut seseorang didalam shalatnya dengan benda tertentu walau dalam ukuran kecil, dan walau tidak menghalangi baginya untuk melakukan sujud sekalipun,  maka tetap saja sujud tersebut tidak sah karena dianggap telah terhalang dari sempurna sampainya sujud kepada tempatnya. Dan bila ia mencoba untuk mengangkat sedikit saja kepala untuk memindahkan benda tersebut dari tempat sujudnya, maka niscaya batal shalatnya. 

Ketahuilah, para salik adalah manusia yang telah Allah SWT perjalankan ia pada sisi hakikat kebenaran yang sesungguhnya, mereka tidak melihat lagi segala sesuatu dengan pandangan lahiriah, melainkan telah berpindah kepada pandangan yang hakiki sebagai anugerah  Allah SWT bagi mereka. Makna Ibadah bagi seorang salik mengandungi nilai-nilai yang sangat agung sebagai pengabdian yang utuh  dalam penghambaan yang sempurna kepada Allah SWT.

Mereka tidak lagi disibukkan dalam menghitung pahala dari suatu ibadah. Berkaitan dengan permasalahan sujud di atas, para salik tidak memaknai sujud didalam shalat kepada diri sujud secara lahiriah. Tetapi sujud bagi mereka kepada Allah SWT di dalam shalat bermakna ketundukpaTuhan jiwa dan raga mereka dalam menghambakan diri dan menyembah, sebagai perwujudan dari pengabdian dan kecintaan kepada Allah SWT. Dan kalaupun mereka ikut memperhatikan kesempurnaan lahiriah dalam sebuah ibadah, maka tujuannya hanya demi kesempurnaan pengabdian dan ketundukpatuhan jiwa mereka, bukan disebabkan ingin memperoleh pahala yang sempurna atau karena menginginkan sahnya ibadah. 

Menghalangnya sedikit saja benda tertentu di dalam sujud secara subtansi tidaklah sampai mengurangi nilai dan tujuan dari sujud itu sendiri. Allah SWT hanya melihat nilai taqwa  dari sebuah sujud, bukan bentuk lahiriah dari pada sujud. Betapa banyak amal-amal ibadah yang dibawa oleh malaikat penjaga amal di tolak melewati ke tujuh pintu langit karena amal yang dibawa tersebut hanya memperhatikan aspek lahirah saja, tanpa mengikutsertakan kesempurnaan batiniah didalamnya. 

Secara umum perbedaan derajat ma’rifah akan membedakan nilai-nilai yang dibawa oleh mereka disetiap derajatnya.  

Mengusahakan Kehidupan Dunia

Wahai saudaraku, dalam hal mengusahakan kehidupan di dunia para salik sering kali disudutkan oleh mereka yang masih awam dengan beberapa tuduhan kepadanya.  Salah satunya adalah tuduhan sebagai pemalas yang tidak mengusahakan mencari rezeki untuk diri dan keluarga.  

Ketahuilah Allah SWT adalah pengatur dan pemelihara atas segala makhluk. Bagi seorang salik merupakan ketetapan Allah SWT untuk tidak disibukkan dalam mengusahakan kehidupan dunia, karena Allah SWT punya tujuan lain terhadap mereka dalam kehidupannya di atas permukaan bumi. Mereka salik disibukan untuk mengurus kedekatan dirinya dengan Allah SWT, karena memang  Allah menghendaki mereka menghabiskan waktunya dalam hal tersebut. 

Begitu juga seorang awam yang dalam keseharian mereka sibuk mengusahakan kehidupan dunia, hal itu karena memang Allah SWT menghendaki mereka menghabiskan waktunya dalam hal tersebut. Persoalan memperoleh rezeki atau tidak adalah dari ketetapanNya, dan itu masuk dalam wilayah urusan keTuhanan, tidak sekali-kali manusia dapat ikut campur didalamnya. Seseorang sedang kaya karena memang untuk saat ini Allah SWT menghendaki ia kaya dan seseorang sedang fakir karena memang untuk saat ini Allah SWT sedang menghendaki ia fakir. Tidak ada hubungannya dengan manusia, semua adalah dari kehendak dan ketetapan Allah SWT semata.   

Tidak tercatat dalam sejarah manapun ada para salik dan keluarganya meninggal karena ketiadaan rezeki.  Allah SWT mengatur segalanya walaupun terkadang tidak secara langsung kepada seorang salik diturunkan, tetapi tetap saja yang namanya rezeki akan sampai kepada setiap yang berhak dalam bentuk dan cara yang berbeda. Dan mungkin bila jumlahnya yang sedikit, tidak berarti disebabkan karena kurangnya usaha, tetapi Allah SWT memang menghendaki yang demikian, karena ada hikmah lain dibalik rezeki yang sedikit itu.

Mengasingkan Diri Dari Orang Ramai

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa perjuangan untuk mendidik diri amatlah berat, mungkin seorang guru dapat mendidik muridnya dengan ilmu tertentu dalam jumlah berapapun daripada mereka. Tetapi mengarahkan dan mendidik diri untuk melawan hawa nafsu dan melawan sifat-sifat buruk dalam diri tidaklah semudah seperti mengarahkan dan mendidik orang lain. 

Bagi seorang salik menjaga sikap-sikap kesalikannya, seperti menjaga ingatan untuk tidak terhenti dalam mengingat Allah, menjaga sikap agar senantiasa tawakkal kepadaNya, melihat segala sesuatu merupakan hasil dari perbuatanNya, kesemuanya adalah hal-hal yang selalu mesti dijaga dan ditumbuh kembangkan dalam kehidupan mereka. Ibarat tanaman yang baru tumbuh dan masih belum kuat menahan terpaan hujan dan angin, mestilah senantiasa dipagari, ditopang dan di jaga agar tidak patah dan mati. 

Berbeda halnya bagi Wali dan ‘Arifin, mereka ibarat pohon yang telah besar dan berdiri kokoh dengan akarnya yang menembus kedalam lapisan tanah, tidak akan goyah bila diterpa angin, hujan dan bahkan badai sekalipun.  Orang ramai senantiasa lalai daripada mengingat Allah, senantiasa lupa untuk berserah diri dalam segala hal kepadaNya dan senantiasa menyangka segala perbuatan adalah miliknya. Sikap orang awam yang demikianlah akan menjadi seperti hujan dan badai bagi perjalanan seorang salik, sehingga pada awal-awalnya mestilah mereka menghindar, agar nilai-nilai kesalikan yang baru tertanam didalam jiwa terjaga keberlangsungannya.

Hakikat Seorang Salik  

Ketahuilah, Allah SWT terkadang menghendaki kesalahan bagi mereka yang masih berada di derajat ma’rifah bawah. Salah satu kesalahan tersebut adalah salah dalam mempersepsikan ciri-ciri seorang salik. Dalam pandangan mereka awam salik adalah seseorang yang tiada henti-hentinya beribadah kepada Allah SWT, dalam rangka mengumpulkan pahala sebagai bekal baginya di akhirat kelak. Kalau yang dipersepsikan demikian tidaklah ia sebagai seorang salik, melainkan seorang ‘abid. Tinjauan kepada seorang salik tidak dinilai dari banyaknya ibadah kepada Allah SWT, tetapi kadar pentauhitan dan mahabbah mereka kepadaNya. Karena hakikat tasawuf adalah diawali dengan ma’rifatullah dan puncaknya dengan mengesakan/mentauhitkan Allah SWT.  

Dalam masalah ibadah terdapat perbedaan yang signifikan antara ‘abid dan salik. Kedua-duanya adalah ahli ibadah, tapi ‘abid beribadah untuk keperluan bekal mereka dan para salik beribadah kerena mahabbah dan pengabdian semata kepadaNya, landasannya yang berbeda. 

Masih banyak ciri-ciri daripada seorang salik kandidat ahli ma’rifah, namun dalam kesempatan ini hanya demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan dalam kesempatan selanjutnya akan kita sambung kembali. Tentu dengan izin daripada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar