Hubungan Mahabbah Dengan Ma'rifah

Wahai saudaraku, kecintaan kepada Allah merupakan modal bagi orang-orang yang telah mengaku diri beriman kepadaNya. Para raja sering kali dikunjungi oleh rakyat dengan berbagai hajat permintaan, tentu raja adalah orang yang paling dimuliakan dan dipuja dalam wilayah kekuasaannya. Sudah sepatutnyalah rakyat berlindung dan dipenuhi segala hajatnya.  Pada suatu hari tanpa di sangka raja dikunjungi oleh seorang yang tidak begitu dikenal dan jarang sekali ia terlihat berkunjung ke istana.  Ketika memasuki istana iapun diperiksa dan ditanya, apa hajat tuan datang ke istana?. Ia menjawab bahwa hajatnya  ke istana untuk melihat dan menjenguk sang raja. Pengawalpun heran dan hampir tidak percaya mendengarnya.  Karena tidak ada hal-hal yang mencurigakan pengawalpun mengizinkan ia masuk ke istana. Sesampainya dihadapan singgasana, rajapun bertanya maksud kedatangan menghadap kepadanya.  Dan orang itupun menjawab “maksud kedatangan hamba kemari ingin mengetahui keadaan tuanku saja, karena hati hamba bertanya-tanya adakah tuanku dalam keadaan sehat, ternyata setelah saya melihat tuan dalam keadaan sehat  dengan tidak kurang satu apapun. Oleh karena itu sekarang hamba merasa senang dan bahagia melihat tuanku bigitu adanya, dan dengan demikian tenteramlah hati saya”. Dan sesudahnya iapun mohon diri  melangkah pulang meninggalkan istana.  Sepulangnya ia dari istana rajapun mulai diliputi keresahan dan bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan ia orang yang tadi datang menghadap kepadanya, tidak seperti biasa setiap orang datang dengan sejuta hajat dan permintaan.  Setelah lama berpikir rajapun sadar bahwa orang itu adalah seorang dari rakyatnya yang begitu tulus mencintai dirinya. Rajapun merasa bahagia karena ada dari rakyatnya yang demikian. Inilah tamsilan cinta para Salik (Sufi) kepada Tuhannya, cinta tanpa mengharap balasan. Kemudian cinta mereka Wali dan Muqarrabin kepada Allah SWT dengan selalu hadir hati kepadaNya,  selalu mengingat dan melafatkan asmaNya di segala tempat dan waktu. Mereka melihat segala perbuatan adalah perbuatanNya dan mereka ridha oleh karenanya.  Selanjutnya cinta para ‘Arifin kepada Allah SWT sama seperti cinta seorang ibu kepada anaknya.  Sang ibu  damai dan bahagia bersamanya, ia tidak selalu berseru menyebut dan memanggil nama anaknya, tetapi tidak  berarti sang ibu tidak mencintainya.  Justru  sebaliknya cinta ibu kepada seorang anak melebihi cinta siapapun di dunia kepadanya.

Ketahuilah, dalam kesehariannya para ‘Arifin tidak lagi merasakan cinta, tidak lagi berzikir kepadaNya dan tidak melihat sesuatu melainkan diriNya. Setiap ‘Arifin merasakan dalam kesatuan bersamaNya, merasa setiap harkat gerak adalah harkat gerak dari padaNya dan merasa wujud diri merupakan bagian dari wujudNya. Hanya kedamaian dan kebahagiaan yang menyelimuti mereka bersama Tuhannya. Rasa cinta mereka diubah oleh Allah SWT menjadi rasa damai dan bahagia.   Perasaan cinta seorang salik kepada Allah menunjukkan masih belum tersingkapnya hijab kemakhlukan dan belum hilang dalam pengetahuan mereka eksistensi kewujudan diri dan makhluk lainnya.

Hubungan cinta kepada Allah SWT dengan ma’rifah sangatlah erat, seseorang yang telah ditunjuki kepada jalan ma’rifah akan terlebih dahulu merasakan mahabbah kepadaNya. Semakin dekat ia kepada pintu ma’rifah maka semakin kuat perasaan cinta kepadaNya, sampai pada akhirnya hilanglah kewujudan diri bersamaan hilangnya perasaan cinta pada dirinya, yang menandakan telah sampainya mereka  ke hadirat daripadaNya.

Saudaraku, Allah SWT menaruh kekuatan cinta ke dalam batin seorang salik dengan kadar yang luar biasa. Ia sanggup meninggalkan apasaja yang menghalangi diri dari ingat dan berdzikir kepadaNya.  Mereka meniggalkan identitas keduniaannya, keluarga, harta dan jabatan demi melepaskan kerinduan kepadaNya.  Semakin dalam kecintaan kepada Allah, semakin lepas mereka dari jeratan menyekutuan kepadaNya.  Para salik meyakini seluruh makhluk ada dalam pemeliharaan Allah termasuk anak dan istri mereka.  Tidaklah ia merasa memiliki kuasa untuk menafkahkan, membesarkan dan menjaga keluarga selain Allah SWT yang melakukannya.  Semakin jauh menampaki jalan ma’rifah semakin mengetahui ia akan segala kebenaran disisiNya, dan semakin jazam pula keyakinannya kepada Allah SWT sebagai pengatur dan pemelihara sekalian alam.

Orang ramai mungkin akan bersikap tidak empati dan mengatakan para salik adalah pemalas yang setiap hari hanya duduk berdzikir saja kerjanya.  Mengalihkan pandangan mata hati dari makhluk kepada Allah SWT bukanlah pekerjaan mudah.  Mereka para salik mesti memiliki tekad dan keyakinan yang luar biasa untuk dapat sampai kesana, dan hal tersebut tidak akan mampu dilakukan oleh mereka yang malas.

Orang awam hanya mengukur sukses kehidupan dari sisi kebendaan duniawiah saja, mereka tidak mengatahui bahwa apa yang telah Allah SWT anugerahkan kepada para salik melampaui jauh tertinggal atas apa yang telah mereka dapatkan dari dunia. Allah SWT menghendaki para salik kandidat ‘Arifin untuk mengosongkan hati dari ingat dan memandang kepada dunia, karena hakikat dunia adalah rendah dan menjijikkan. Tidak sekali-kali mereka beranggapan bahwa dunia sebagai tempat berlama-lama tinggal di dalamnya, karena hanya para sapi yang betah tinggal berlama-lama di dalam kandang mereka.

Orang-orang yang Allah SWT kehendaki memilih dunia sebagai tempat kediamannya, tidak layak dan pantas menginjakkan kaki mereka ke dalam alam ma’rifah yang begitu halus dan suci.  Bagi ia yang telah cinta kepada Allah dengan cinta sebenar, akan hilang pada dirinya perasaan cinta kepada makhluk dan terhindar dari bimbangnya hati dalam memikirkan mereka. Inilah hakikat cinta pada tataran salikin, yaitu Sufi, Wali atau Muqarrabin.

Berbeda halnya dengan ’Arifin, Allah SWT telah mengeluarkan mereka dari merasakan cinta kepada merasakan damai dan bahagia berada dalam gerak wujud daripadaNya.  Sebelum  sampai kepada derajat ‘Arif, mereka merasakan juga apa yang dirasakan oleh para salik sebelumnya.  Tetapi ketika Allah SWT menghilangkan hijab kemakhlukan maka terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT merupakan wujud tunggal yang menggerakkan  segala gerak lahir dan batin.  Mereka justru akan mencintai dunia jika Allah SWT menggerakkan hati mereka kepada hal tersebut dan juga akan membenci dunia jika Allah SWT menggerakkan batin mereka kesana.

Tidak jadi masalah bagi ‘Arifin mencintai atau membenci dunia dengan seluruh isi dalamnya, karena gerak cinta dan benci datang dari gerak Allah SWT, bukan dari mereka. 

Cinta kepada Allah SWT sangat mempengaruhi dan menentukan derajat ma’rifah kepadaNya. Semakin Allah SWT menghendaki seseorang ma’rifah, maka semakin besar pula rasa cinta mereka kepadaNya, tidak terkecuali bagi para ‘Arifin. Tenggelam dalam kesatuan wujud yang damai dan membahagiakan tidak menghilangkan sama sekali rasa cinta mereka kepadaNya, sesekali Allah SWT mengembalikan pengetahuan akan wujud kemakhlukan baginya, yang dengan itu mereka mengeluarkan air mata bila mengingat dan menyebut namaNya.

Semoga Allah SWT mengekalkan rasa cinta (mahabbah) kita kepadaNya sampai kapanpun.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar