Memahami Hakikat Segala Perbuatan Hanya Milik Allah



Ketahuilah saudaraku, alam lahiriah akan selalu kelihatan berbeda dengan kenyataan hakikat disisi Allah SWT.  Awam, dan ‘arif adalah cerminan  yang mewakili   dua realitas yang berbeda.  Penglihatan lahiriah orang awam  berbeda jauh dari apa yang dilihat oleh ‘Arifin di dalam hakikat.  Terbentangnya dinding kesadaran menjadi pemisah diantara keduanya.  Yang awam terlihat seperti orang yang sedang tidur. Yang ‘arif seperti orang yang terjaga.  Apa yang membedakan yang tidur dengan yang terjaga?, tidak  lain adalah kesadaran mereka. Bagi yang terjaga selalu mendapati kesadaran atas kenyataan yang sesungguhnya, bagi yang tertidur meyangka mimpi adalah kenyataan hidup mereka. 
  
A. Keterlibatan Allah Dalam Kehidupan 

Wahai saudaraku, Kehidupan makhluk pada umumnya dan manusia pada khususnya tidak terlepas  setiap saat dari  unsur kehendak dan kuasa.  Kedua  unsur tersebut bersatu dan menjelma menjadi sebuah perbuatan.  Dilihat dari dhahir wujudnya, perbuatan merupakan hasil dari kehendak dan kuasa dalam bentuk gerak, kalam, penglihatan dan pendengaraan makhluk. Namun pada hakikatnya tidak satupun unsur perbuatan datangnya dari makhluk.  Siapa yang berani mengatakan perbuatan makhluk datangnya dari makhluk!, kami rasa tidak ada yang berani mengatakannya melainkan orang-orang jahil.  Dalam kontek ma’rifah ada  perberbedaan  yang cukup signifikan antara yang jahil dengan yang awam.  

Orang jahil beranggapan segala perbuatan makhluk sepenuhnya (100%) terjadi karena kehendak dan kuasa makhluk.  Sedangkan menurut mereka awam setiap perbuatan makhluk didahului oleh kehendak dan kuasa makhluk (±50%) sebelumnya,  kemudian di ikuti oleh kehendak dan kuasa Allah SWT (±50%)  yang menyempurnakannya menjadi sebuah perbuatan.  Orang jahil berkata “berkat usaha dan kerja kerasku tercapailah semua cita-citaku”, kemudian orang awam menambahkan keikutsertaan Tuhan didalamnya dan berkata,  “berkat usaha dan do’aku tercapailah segala cita-citaku”, itulah i’tiqad orang awam dan jahil yang telah Allah SWT tetapkan dalam ilmuNya yang azali.   Lain halnya dengan mereka  salik, Allah SWT menempatkan para salik jauh lebih mengenal kepadaNya.  

Bagi seorang salik  apapun realitas kehidupan, sepenuhnya (100 %) datangmm dari kehendak dan perbuatan Allah SWT. dan merekapun berkata “dimanapun aku sedang berada, dalam keadaan bagaimanapun, dan apapun yang sudah kuperbuat, sedang kuperbuat dan yang akan keperbuat, semua datangnya dari kehendak dan kuasa Allah SWT.” bagi mereka salik Allah SWT adalah pemilik segala perbuatan.   

B. Realitas Kehidupan  

Wahai saudaraku, Allah SWT pencipta realitas kehidupan, kenyataan sehari-hari  membuat  mereka yang masih awam melihat dan merasakan ada sebab dibalik akibat.   Apapun yang manusia inginkan, tidak sepenuhnya datang dari Tuhan.  Mesti ada kemauan berusaha sebelumnya.  Mereka awam mendapati di kesehariannya, bahwa peran makhluk sangat berpengaruh dalam menghasilkan perbuatan dan manfaat dari perbuatan tersebut.   Seorang petani yang menginginkan hasil panen, mesti terlebih dahulu menyempurnakan usaha dalam menggarab lahan, menanam, menyiram, memupuk, menyemprot dan sebagainya.  Baru sesudahnya Allah SWT mengiradahkan kepada tumbuh suburnya tanaman, berbunga, keluar buah hingga akhirnya ia dapat memanennya.  

Begitu juga jika seorang santri yang menginginkan ilmu Agama, mestilah sebelumnya menuntut ilmu dalam waktu lama, kuat ingatan, cerdik, teliti, ta’zim kepada guru,  ridha hati guru kepadanya, meninggalkan ma’siat, menghindari yang syubhat dan sebagainya. Bila semuanya sudah terpenuhi barula Allah SWT. mencurahkan ilmu kepadanya.  Selanjudnya jika seorang ingin  memperoleh rizki yang halal dari Allah SWT, mestilah sebelumnya ia memenuhi persyaratan seperti beramal ma’ruf nahi munkar, berdo’a meminta kepadaNya, berusaha sekuat tenaga, menghindari bermalas-malasan, banyak-banyak bersedeqah, beramal dengan do’a dan ayat-ayat tertentu dan sebagainya.  Setelah persyaratan terpenuhi barulah Allah SWT menurunkan rizki kepadaNya.  Dan kemudian bila seorang mukmin menginginkan keselamatan di akhirat,  mestilah baginya memperbanyak amal ibadat,  mengumpulkan pahala dan sebagainya, baru kemudian dengan itu semua Allah SWT  meridhai dan menyelamatkan ia dari ancaman siksa neraka.

Demikianlah Allah SWT memperjalankan dan meridhai mereka awam pada jalan takluk usaha baginya. Kemudian para salik Allah perjalankan pada jalan ma’rifah kepadaNya.  Mereka tidak melihat lagi ada yang berbuat selain Allah, segala perbuatan adalah milik Allah SWT.   Dengan kemurahanNya, seorang petani yang dikehendaki  diberi hasil panen yang melimpah, akan ditaruh dalam hatinya keinginan untuk berusaha.  Allah menggerakkan ia untuk menggarab lahan, menanam, menyiram, memupuk sampai kemudian Allah SWT keluarkan hasil dari tanaman tersebut.  Dan sebalik jika Allah SWT tidak menghendaki hasil panen baginya,  maka Allah menutup jalan usaha dengan memberikan rasa malas, tidak tau harus berbuat apa atau mendatangkan hama penyakit dan sebagainya. Semua terjadi sebagaimana yang Allah kehendaki saja, semua adalah perbuatanNya.  

Begitu juga jika Allah SWT menghendaki memberi ilmu kepada seorang santri, akan dibukakan segala jalan baginya. Pertama-tama Ia tanamkan dalam hati keinginan untuk menuntut ilmu dalam waktu lama, lalu dikuatkan ingatannya, di berikannya kecerdikan,  ditumbuhkan dalam hati rasa ta’zim dan ridha hati guru kepadanya,  dibencikan ia kepada ma’siat, dihindarkan dari yang syubhat dan yang haram dan sebagainya.  Sebaliknya jika Allah SWT tidak menghendaki memberi ilmu kepadanya, maka ditutup baginya semua jalan yang menuju ke sana.  

Wahai saudaraku, dalam hal mencari  rizki  para salik diperlihatkan olehNya bahwa rizki adalah suatu bentuk kemurahan Allah SWT kepada hamba. Ia bukan dari hasil harakat dan usaha, tetapi dari ketetapan dan ukuran dariNya.  Jika seseorang dikehendaki  kelapangan atas rizkiNya, maka Ia bukakan segala jalan baginya untuk sampai kesana.  Dan sebaliknya jika seseorang sedang dikehendaki kesempitan atas rizkiNya, maka Allah menutup segala jalan baginya.   Adapun harakat dan usaha semasekali tidak memberi bekas, karena hakikat harakat dan usaha Allah SWT yang menggerakkannya.  Rizki dan usaha adalah dua hal yang mengandung hikmah dari kemurahanNya.  Allah SWT menciptakan kesempatan dalam even-even tertentu sebagai media atau jalan menuju kepada ibadah, salah satunya adalah harakat dan usaha dalam mencari rizki.  Tiada yang sanggup membari bekas (efek) atas sesuatu selain Allah SWT.   Harakat dan usaha dalam mencari rizki yang halal adalah sebuah ibadah, tidak untuk memberi bekas bagi datangnya rizki.  Sedangkan hikmah dari dari datangnya rizki adalah semata-mata karena kemurahan Allah SWT sebagai pencipta, pemelihara, pemberi rizki dan sebagainya.  

Wahai saudaraku, dalam hal upaya  memperoleh keselamatan di akhirat, ibadat dan keselamatan akhirat adalah dua hal yang tidak memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.  Hakikat ibadat adalah pengabdian hamba kepada Tuhannya, yang didasari keiklasan.  Makna iklas adalah tidak mengharap balasan apapun, termasuk balasan pahala dan keselamatan di hari akhirat kelak.    Sedangkan hakikat keselamatan hanya milik Allah SWT, siapa yang Ia kehendaki selamat,  selamatlah ia dan sebaliknya siapa yang Allah kehendaki celaka, maka celakalah ia.  Amal ibadat manusia tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kehendakNya.   Allah SWT maha menghendaki atas segala sesuatu.  Sama halnya dengan tujuan ibadah bagi seorang salik adalah  sebagai media pengabdian dan pelepasan kerinduan dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya semata.  Mereka tidak pernah ingin merasa jauh denganNya dan sepi dari mengingatNya.  Sang salik dianugerahi kecintaan kepada Tuhan, mereka merindu disetiap waktu.  Keselamatan di hari akhirat tidak menjadi tujuan dalam beribadah, karena  kecintaan kepadaNya membuat mereka lupa kepada yang selain dariNya.  Mereka  ridha  dimanapun Allah SWT menempatkan dirinya di akhirat kelak.  

C. Makna  Kasab Sebenar Menurut Abu Hasan Al-‘Asyari  

Wahai saudaraku,  Allah SWT menghendaki takluk harakat dan usaha kepada manusia bersamaan kejadiannya dengan takluk qudrah dan iradah Allah kepada hal yang lain.  Bersamaan dalam kejadian tidak berarti memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.  Karena takluk kuasa Allah pada harakat dan usaha makhluk, tidak memberi bekas kepada tercipta sebuah perbuatan.   Ketika seseorang diiradahkan baginya bekerja dengan menggunakan sebuah pisau, tidak otomatis ketika pisau digunakan pasti akan memutuskan segala sesuatu, karena untuk mendapati putus dibutuhkan takluk qudrah dan iradah Allah selanjutnya.  Oleh karenanya bekas putus yang ada pada pisau dihitung sebagai perbuatan Allah, bukan perbuatan makhluk sipekerja.  Allah SWT yang  mengiradahkan kuasa harakat dan usaha, juga yang mengiradahkan hasil dari harakat dan usaha tersebut. 

Ketahuilah, qudrah dan iradah adalah dua sifat keTuhanan yang qadim, berdiri kepada yang qadim, yaitu zat Allah SWT, tidak kepada yang baharu.  Mengakui adanya kehendak dan kuasa pada makhluk sama saja telah mempersekutukan Allah pada zat dan sifatNya.  Karena sifat-sifat keTuhanan tidak terbagi sedikitpun kepada makhluk, karena  Allah SWT ghaniyul mutlak dalam segala hal.   Ketika orang-orang mu’tazilah dan qadariah mendakwa, bahwa terciptanya sebuah perbuatan makhluk disebabkan oleh kuasa makhluk, bukan dari kuasa Tuhan.   Maka Abu Hasan Al – ‘Asyari membantahnya, secara lahiriah memang ada kuasa pada makhluk yang disebut dengan kasab, tetapi kasab tersebut sifatnya tidak hakiki, melainkan  majazi dari takluk kuasa Allah SWT.  Esensi kasab adalah manifestasi kuasa Tuhan kepada makhluk dalam bentuk harakat dan usaha.  Maksudnya apapun yang Allah kehendaki atas diri makhluk terlihat dari gerak harakat dan usaha mereka.  Mustahil ada kuasa  pada diri makhluk yang terpisah dari kuasa Allah SWT.  Karena lahirnya gerak perbuatan  makhluk tidak dengan kiyamuhu binafsih, maksudnya tidak ada dengan sendirinya, Allah SWT yang menciptakan dan menggerakkannya.  Oleh karenanya bila ada anggapan bahwa kasab pada diri makhluk dapat memberi bekas,  itu sangatlah keliru.  Karena kasab yang ada pada diri makhluk bukan dari esensi kuasa sebenar,  melainkan hanya wujud lahiriah dari kuasa Allah SWT.  

Saudaraku,  adapun maksud daripada majazi  adalah satu tinjauan lahiriah, yang seolah-olah harakat dan usaha yang ada pada makhluk datang dari pada ain kuasa makhluk.  Padahal sebenarnya ia bayangan atau wujud lahiriah daripada takluk qudrah dan iradah Allah SWT.   Tidak ada harekat dan usaha yang efektif pada diri makhluk, makna efektif dapat memberi bekas pada terciptanya suatu perbuatan, yang ada hanya bayangan dari takluk qudrah dan iradah Allah SWT atau wujud lahiriah daripada sifatNya, yang dinamakan dengan kasab.  

D. Perbedaan Jabariah dan Al-‘Asyariah  

Wahai saudaraku,  ada perbedaan yang mendasar dalam ketauhitan antara Jaham bin Safwan dengan Abu Hasan Al-‘Asyari.   Umat islam pada umumnya tidak begitu jelas megetahui hakikat jabariah dan hakikat kasab sebagai mana yang telah kami uraikan di atas.  Ketika seseorang mengatakan “hidup makhluk seperti benang yang ditiup angin, kemana angin berhembus kesanalah mereka tergerak” . maksudnya kemana Allah SWT menhendaki kesana ia berada tanpa ada sedikitpun kuasa untuk merubahnya.  Lebih  jelasnya “apapun yang telah Allah SWT tetapkan dalam ilmuNya yang azali, tidak akan berubah sama sekali hanya dengan gerak usaha makhluk.  Orang-orang dari firqah Mu’tazilah, Qadariah bahkan Aswaja sekalipun akan mengatakan bahwa  i’tiqad tersebut di atas tidak lain adalah dari i’tiqad kaum jabariah. Ketahuilah,  paham jabariah pertama kali dicetuskan oleh Jaham bin Safwan, sebenarnya mereka menyebut dirinya golongan Jahmiah.  Kemudian Ulama khalaf mengidentifikasi keberadaan mereka dengan mengkaji lebih dalam ‘itiqad yang dibawa.  

Selanjutnya  diperoleh fakta bahwa mereka jahmiah meg’itiqadkan, bahwa Allah SWT memaksa atau menggagahi makhluk untuk menerima apa saja dari iradahNya.  Sebenarnya  makhluk memiliki kehendak dan kuasanya sendiri, tetapi kehendak dan kuasa tersebut tenggelam dalam paksaan kehendak dan kuasa Allah SWT.  Padahal mereka makhluk ingin berbuat sesuatu yang sesuai  dengan kehendaknya, tetapi oleh Allah memaksa mereka untuk berbuat seperti yang dikehendakiNya.   Oleh karena ‘itiqad yang demikian, paham jahmiah ini dinamakan oleh Ulama khalaf sebagai paham Jabariah, yang berasal dari kata jabara artinya tergagah atau dipaksa.  Siapa yang memaksa? Allah SWT yang memaksa mereka. Oleh karena alasan tersebut kaum jahmiah beri’tiqad bahwa posisi makhluk  adalah seperti benang yang ditiup ingin. Segala realitas yang ada berasal dari perbuatan Allah SWT yang memaksa  makhluk untuk bergerak memperbuatnya.  Lalu dimana letak kesesatan jabariah dalam hal ini?. 

Wahai saudaraku, kesesatan mereka tidak lain terletak pada ‘itiqad yang  membenarkan adanya kehendak dan kuasa sebenar pada diri makhluk, yaitu kehendak dan kuasa yang digagah, dipaksa oleh kehendak dan kuasa yang lain.  Sama halnya dengan ‘itiqad kebanyakan Aswaja yang membenarkan adanya kehendak dan kuasa sebenar pada diri makhluk, yang ikut memberi bekas dalam setiap perbuatan.     Imam Abu Hasan Al-‘Asyari tidak pernah mengatakan ada kehendak dan kuasa pada diri makhluk.  Tidak satupun dari kitab beliau tersirat didalamnya maksud yang demikian, bahkan dalam Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah ada bab khusus  yang membicarakan mengenai kehendak Allah SWT, beliau menegaskan di dalamnya bahwa “Kekufuran dan kemaksiatan sekalipun adalah ciptaan Allah SWT, tidaklah didapati perbuatan kekufuran dan kemaksiatan melainkan dari kehendakNya.  Karena mustahil ada sesuatu dari yang tidak dikehendakiNya”.  Istilah kasab merupakan penamaan Imam Abu Hasan Al -’Asyari atas bayangan atau wujud lahiriah dari takluk kehendak dan kuasa Allah SWT pada diri makhluk.  

Makna takluk terhubungnya kehendak dan kuasa Allah kepada makhluk.  Kita tidak dapat melihat langsung dari pada ain takluk kehendak dan kuasaNya, yang terlihat hanya banyangan takluknya saja.  Bayangan daripada takluk qudrah bukanlah qudrah, karena banyang manusia bukanlah diri manusia walaupun mengikuti bentuk dan gerak yang sama,  ia hanya sebagai wujud lahiriah dari takluk sifat ketuhanan yang dapat dilihat oleh kasad mata.  Oleh karena inilah Imam Abu Hasan Al-‘Asyari memberikan penamaan khusus kepada bayangan takluk atau penampakan lahirian kehendak dan kuasa Allah tersebut dengan sebutan kasab, supaya terhindar mereka  awam dari kesalahan.  Karena kalaulah memang benar seperti perkataan mu’tazilah bahwa ada qudrah dan iradah yang sebenar pada diri makhluk, maka tidaklah Imam Abu Hasan Al-’Asyari membuat istilah baru, tetapi cukuplah langsung menyebut qudrah makhluk, iradah makhluk.   Disamping itu tidak pantas bagi makhluk meyandang sifat keTuhanan yang qadim, karena dirinya makhluk yang baharu.  

E. Pergeseran Nilai  

Wahai  saudaraku, seiring dengan pergantiaannya jaman dan generasi,  Allah SWT maha  menghendaki merubah  dan metetapkan segala sesuatu.  Adanya pergeseran nilai di dalam menafsirkan makna kasab  merupakan salah satu dari kehendakNya.  Dan dalam kenyataannya memang terjadi perbedaan penafsiran di kalangan Al ‘Asyariah pada generasi selepas wafatnya imam kita Abu Hasan Al ‘Asyari tahun 324 Hijriah.  Imam Baqillani yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin Ja'far bin Al Qasim, adalah generasi kedua dari pengikut Imam Al ‘Asyari,  beliau orang pertama yang menafsirkan makna kasab secara berbeda.  Lahir di Bashrah menetap di Baqdhad dan wafat tahun 403 Hijriah di Baqdhad.  Beliau lebih dikenal dengan Al Qadhi Abu Bakr Al Baqillani,  berguru  kepada Abu Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid Al Thaiy Al Malikiy,  sahabat sekaligus murid Imam Al Asy’ari.  Di samping sebagai mutakkalim Imam Baqillani juga seorang ahli ushul fikih.  

Mengenai maksud daripada kasab  walaupun pada prinsipnya telah disebutkan oleh Imam Al-Asy’ari sebelumnya, tetapi dalam pandangan Imam Baqillani makna kasab sedikit mengalami perubahan.  Beliau  menetapkan bahwa kuasa manusia yang baharu mempunyai pengaruh dalam setiap perbuatannya.  Sedangkan sebagaimana telah dijelaskan di atas, menurut  Imam Al-Asy’ari kuasa manusia tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan sebuah perbuatan, karena kuasa dan kehendak manusia adalah ciptaan Allah SWT.  Lafazd ‘ ‘am dari firman Allah dalam Surat Al-Zumar Ayat 62  adalah  artinya Allah yang menciptakan segala sesuatu.  Kasab pada diri makhluk tidak berperan apa-apa, hanya bayangan lahiriah dari kudrah dan iradah Allah SWT saja.  Imam Baqillani dengan tetap berpegang pada teori kasab secara umum berpendapat Allahlah yang menciptakan perbuatan manusia, tetapi perbuatan tersebut tercipta karena pengaruh dari dua kuasa yaitu kuasa Allah dan kuasa manusia yang diciptakan. Kuasa Allah mempengaruhi pada setiap perbuatan (al-fi'l) dan kuasa manusia berpengaruh dalam realisasi perbuatan tersebut.  Karena realisasi dari sebuah perbuatan dipengaruhi oleh kuasa manusia, maka  inilah yang menjadi standar baik atau buruk,  mendapat pahala atau siska.  Pendapat Imam Baqillani mengenai hal ini lebih lengkap dapat ditemui dalam kitabnya Tabshirah  dan Daqaiq al-Haqaiq. 

Selanjutnya Al Iman Al Juwaini yang dikenal dengan nama Iman al-Haramaeni, mempunyai nama lengkap Abu Al Ma'aliy Abd Al Malik bin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah Al Juwaini.  Beliau adalah seorang ahli ushul dan fikih bermazhab Syafi'i. Nama Al Juwaini dinisbahkan pada satu tempat yang ada di Naisabur, beliau bergelar Dhiya al-Din dan disebut Imam Al Haramen karena beliau pernah menetap dan menjadi imam di dua tanah haram Mekah dan Madinah.  Lahir pada tanggal 18 Muharram tahun 419 Hijriah.   Al Iman Al Juwaini belajar dari sejumlah ulama, antara lain dari ayahnya sendiri Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini, seorang ulama bermazhab Syafi’i, dan belajar hadis dari ulama-ulama besar yang ada pada masanya. 

Ketahuilah, Al Iman Al Juwaini berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban dalam agama tidaklah adil bila ditanggung oleh manusia tanpa ada kuasa untuk melaksanakannya, demikian juga kuasa yang Allah berikan pada manusia tidak berarti apa-apa bila tidak berpengaruh dalam mewujudkan perbuatannya.  Beliau menisbahkan perbuatan manusia dengan penisbahan yang hakiki.  Tetapi tidak berarti bahwa manusia yang menciptakan perbuatannya, karena sifat pencipta hanya milik Allah semata.  Penisbahan perbuatan pada manusia menurut Al Iman Al Juwaini adalah karena kuasa manusia yang mewujudkan perbuatan tersebut.  Disinilah awal bergesernya ajaran beliau dari Imam Al ‘Asyari, dengan mengakui adanya kuasa yang berpengaruh pada diri manusia. 

Wujud sebuah perbuatan menurut beliau tergantung pada daya, sedangkan wujud dari daya tergantung pada sebab, dan wujud dari sebab tergantung pada sebab yang lain dan begitu seterusnya, sehingga akan berakhir pada sebab dari segala sebab yaitu sang pencipta Allah SWT.  Pendapat inilah yang menjadikan Al Iman Al Juwaini berada jauh dari paham Imam Al ‘Asyari dan dekat dengan pahamjjkm Mu'tazilah tentang hukum sebab akibat (Hukum Kausalitas).   Kaum mu’talizilah meyakini kuasa yang ada pada manusia adalah kuasa yang hakiki.  Selanjutnya manusialah yang menentukan kemana kuasa tersebut akan dipergunakan, sehingga menjadi sebab dalam setiap perbuatannya.  Pendapat Al Iman Al Juwaini selengkapnya dalam hal ini dapat ditemui dalam kitabnya Al Syamil fi Ushuliddin dan Al Irsyad ila Qawa'idil fi Ushulil 'Itiqad.  

F. Pemurnian Kembali I’tiqad Ahlussunnah Wal   Jama'ah 

Pada masa sesudah wafatnya Al Iman Al Juwaini,  muncullah Hujjat Al Islam Al Imam Al Ghazali yang nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali, sebagai seorang pengikut  murni Imam Abu Hasan Al A’syari.  Beliau adalah sosok yang mengembalikan makna kasab yang sebenar menurut Imam Al A’syari dalam pahaman ‘Itiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah.  Bergelar Hujjat  Al Islam dan Zain Al Din Al Syarif dan dipanggil dengan Abu Hamid,  lahir di Thus tahun 450 H.  Hidup dalam keluarga yang sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam.  Di Thus beliau mulai belajar dari salah seorang ulama besar Thus yaitu Al Iman Ahmad bin Muhammad Al Razkani, kemudian beliau merantau ke Jurjan, di sini beliau belajar dari Nashr Al Ismaili. Kemudian beliau kembali ke Thus dan menetap selama tiga tahun. Kemudian ke Naisabur dan berguru pada Al Imam Al Haramain, disinilah produktivitas beliau sebagai seorang ilmuan nampak dengan mulai menulis uraian dari berbagai masalah. Sehingga Al Imam Al Haramain memberi julukan pada beliau dengan "Lautan yang menenggelamkan" atau ada pendapat lain yang mengatakan “Lautan tak bertepi”. 

Sepeninggal Al Imam Al Haramain, Iman Al Ghazali berangkat ke Askar menemui Al Wazir Nizham Al Mulk. Beliau sangat menghormatinya, kemudian memberikan kepercayaan pada Imam Al Ghazali untuk mengajar pada madrasahnya di Baghdad dari tahun 484 sampai 488 Hijriah.  Pada bulan Rajab tahun 488 Hijriah kehidupan rohani Imam Al Ghazali mulai bergejolak, dan ini berlangsung selama enam bulan atau sampai pada awal tahun 489 Hijriah, karena hal inilah beliau hijrah kepada menjalani kehidupan sebagai seorang sufi.  Kehidupan  sufi beliau jalani dengan alasan yang sangat tepat  sebagaimana yang telah beliau ungkapkan dalam kitabnya Al Munqiz min Al Dhalal. 

Imam Al Ghazali adalah sosok penentu  dalam mengembalikan ajaran Imam Abu Hasan Al ‘Asyari ketempat dudukan yang semula, setelah sekian laba bergeser menuju ke arah mu’tazilah.  Apapun yang beliau kemukakan  tidak dijumpai perbedaan sama sekali dengan Imam Al ‘Asyari sebagai pendiri ‘itiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah.  Apa yang telah disampaikan oleh Imam Al ‘Asyari sebelumnya itulah yang dibela oleh beliau, seperti bahwa Allah SWT mempunyai sifat-sifat yang qadim dan mempunyai wujud diluar zat,  Kitab Suci Al Qur’an bersifat qadim dan bukan makhluk, perbuatan dan daya yang ada pada manusia Allahlah yang menciptakannya.  Ru'yatullah dapat terwujud, karena sesuatu yang mempunyai wujud dapat dilihat, keadilan Tuhan tidak dapat diukur dengan keadilan manusia.  Pendapat beliau selengkapnya dapat dilihat dalam kitab al-Iqtishad fi al-I'tiqad dan Ihya Ulum Al Din.  Dalam pembahasan "Qawa'id Al Aqaid" terlihat dengan jelas pandangan-pandangan beliau mengenai hal-hal yang mendasar yang menjadi  bahan perdebatan antara Imam Al Asy’ari dan kaum mu'tazilah. 

Mengenai ajaran mu’talizah tentang  hukum sebab akibat  atau kausalitas, Imam Al Ghazali mengemukakan bahwa sebenarnya hal tersebut bersumber dari premis-premis filsafat yunani, khususnya dari Aristoteles yang menganut paham ketiadaan keikutsertaan Tuhan dalam kehidupan atau pantheisme.  Beliau berpendapat bahwa menghubungkan antara apa yang diyakini dalam hal yang biasa antara sebab dan yang disebabkan tidaklah mesti, dan menetapkan salah satunya tidak berarti menetapkan yang lain begitupun sebaliknya, karena semuanya telah diawali dengan takdir Allah.  Beliau memberi contoh bahwa kenyang tidak mutlak harus dengan makan, tapi Allah bisa mentakdirkan bahwa seseorang bisa kenyang tanpa melalui makan. Sehubungan dengan dakwaan mu’talizah tentang keadilan Tuhan, jika manusia tidak memiliki kuasa yang hakiki, maka tidaklah adil baginya bila  menanggung semua dosa dari perbuatan yang tidak pernah dilakukan, karena menurut Imam Al ‘Asyari “semua kehendak dan kuasa untuk melahirkan sebuah  perbuatan adalah kehendak dan kuasa Allah SWT”.  Kalau memang demikian, mereka mu’talizah bertanya dimana letak keadilan Tuhan terhadap hambanya?. Bukankah Allah SWT Maha Adil?.  Menanggapi permasalahan klasik tersebut Imam Al Ghazali  menjawab, Allah SWT memang Maha Adil, tetapi jika Dia menghendaki adil atas segala sesuatu.  Tidak ada pihak yang mewajibkan Allah SWT untuk berbuat adil karena Ia adalah Tuhan.  Lagi pula keadilan  Tuhan tidak selalu dapat diukur dengan keadilan manusia. Manusia menganggap segala sesuatu adil bila menguntungkan baginya, tetapi tidak demikian halnya hakikat keadilan disisi Allah SWT.   Sekarang coba kita balik bertanya, adilkah bagi Allah SWT jika  manusia mengatur Tuhannya untuk bersikap adil kepadanya?, sedangkan Ia Tuhan yang maha menghidupkan dan mematikan makhlukNya. 

Ketahuilah Wahai Saudaraku, Allah itu adalah Tuhan, dan Tuhan absolut atas segala sesuatu, mutlak dalam segala hal, dalam kekuasaan, kekayaan dan sebagainya.  Sebelum manusia menuntut keadilan dari Tuhan, terlebih dahulu perlu dikaji lebih lanjut  “apa hubungan manusia dengan Tuhannya?”,  sebagai sahabatkah?, kerabat?, tetangga?, sesama makhluk? atau sebagai makhluk dari  Tuhannya.  Jika manusia dirugikan oleh manusia yang lain, maka akan dikatakan ia telah terzalimi atau tidak mendapatkan keadilan.  Lantas bagaimana jika Allah SWT memasukkan manusia yang kafir dan yang maksiat ke dalam neraka, sedangkan kafir dan maksiat dari ketetapan dan perbuatanNya, adilkah bagi ia manusia menanggungnya?.  Jawabannya  sangatlah adil.  Manusia adalah makhluk, dan setiap mahluk adalah ciptaanNya dan ciptaanNya adalah milikNya.  Dalam masalah kepemilikan, sah bagi pemilik menempatkan sesuatu yang dimilikinya kemanapun yang ia dikehendaki.  Allah SWT sebagai Tuhan sekaligus pemilik atas seluruh makhluk, bebas melakukan apapun terhadap makhluk milikanNya, termasuk menjebloskan manusia yang taat sekalipun ke dalam  neraka. Karena keta’atan seorang manusia tidak sanggup merubah kehendak Tuhan, dan Allah SWT tidak terpengaruh sedikitpun dengannya. Inilah hakikat Tuhan kita Allah ‘Azawajalla.  

Di akhirat kelak manusia tidak merasa Tuhan tidak adil baginya.  Bagi orang mukmin Allah SWT tanamkan kecintaan yang luar biasa kepadaNya, hingga ridha menerima segala ketetapan dari taqdirNya.  Sebaliknya semasa di dunia mereka yang kafir secara berkelanjutan Allah perjalankan pada jalan kekufuran dengan terus menerus berbuat dosa, dan merekapun menikmatinya.  Sulit bagi mereka untuk meninggalkan kekufuran dan berbuat dosa.  Pada akhirnya kalaupun Allah SWT di akhirat kelak memasukkan ia ke dalam neraka, maka tidaklah ia merasa Tuhan tidak adil kepadanya, lantaran ia telah kufur dan telah menikmati perbuatan dosa yang telah dikerjakan semasa hidup di dunia.  Mereka tidakpun bertanya kepada Tuhannya “kenapa Kamu hidupkan kami dalam kekufuran dan bergelimang dengan dosa?.  Jusru kebalikannya, mereka yang akan ditanya. Alhamdulillah dengan kemurahanNya selesailah uraian kami dalam menjelaskan hakikat segala perbuatan.  Semoga bermanfaat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar