Hakikat Ilmu Bagi Ahli Ma'rifah

Wahai saudaraku ketahuilah, puncak pengetahuan seorang Ahli Ma’rifah datang  ketika Allah SWT membenamkan nur ilmu ke dalam batin mereka. Dengan pancaran nur mereka mengetahui secara langsung kebenaran atas segala sesuatu dengan hanya melihat dan mendengarnya saja. Ilmu tersebut letaknya tersembunyi di dalam batin.  Karena tersembunyi  dan berasal dari pancaran nur, maka dinamakanlah ilmu jenis ini dengan nama ilmu laduni, makna laduni tersembunyi. Ilmu laduni tidak akan pernah dapat diakses oleh mereka yang bukan Ahli Ma’rifah.  Kebenaran Ilmu Laduni atau disebut juga ilmu disisi Allah, dapat dibuktikan dengan Ilmu Mukasyafah.  Makna mukasyafah ketersingkapan hijab, sehingga dapat melihat apa saja yang tertera dalam Luh Mahfudz. Kepada seseorang adakalanya Allah SWT memberikan kedua ilmu tersebut dan adakala salah satu diantaranya.  Ilmu Mukasyafah bukan merupakan sumber pengetahuan, melainkan ia hanya media dari Allah SWT untuk melihat kebenaran dari pengetahuan yang sudah terbit sebelumnya.  

Abu Yazid Bustami mengatakan, “seseoang yang ‘alim itu bukanlah orang yang menghafal dari kitab, karena jika ia lupa apa yang ia hafal, ia menjadi bodoh.  Akan tetapi seorang ‘alim adalah orang yang megambil ilmu dari Tuhannya diwaktu kapanpun yang ia suka, tanpa hafalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany”.  Nabi kita Muhammad SAW mengatakan pada masa-masa umat sebelumya ada beberapa orang telah diberikan oleh Allah SWT ilham, dan beliau menambahkan kalaulah dari umatnya ada yang diberi ilham tersebut pasti termasuk Sayyidina Umar salah satunya (HR. Bukhari dan Muslim/Muttafaqun ‘alaihi). Dalam kesempatan yang sama Nabi SAW juga pernah mengatakan, berhati-hatilah kepada firasat orang mukmin, karena mereka melihat cahaya Allah (HR. At Tirmidzi). Dan di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman “Dan kami telah ajarkan kepadaNya dari sisi kami suatu ilmu (Surat Al Kahfi: Ayat 65). 

Para ahli ma'rifah adalah manusia yang sangat dekat dengan Allah SWT, sesudah para Nabi dan Rasul.  Disaat Rasulullah SAW telah tiada, Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk bertanya ilmu kepada mereka.  Karena para ahli ma'rifah adalah hamba Allah yang selalu ingat kepadaNya dalam keadaan bagaimanapun.  Tidak hilang kesadaran dan putus ingatan mereka kepada Allah SWT.  Hikmah dekat dan selalu ingat kepadaNya, menjadikan mereka Wali dan ‘Arifin terbebas dari kekangan hawa nafsu  dan godaan syaitan.  Ingat kepada Allah SWT disini tidak dimaksudkan sekedar mengingat asmaNya semata, tetapi jauh masuk ke dalam pentauhitan kepada wujud Allah yang wajibul haq.  Dan tidaklah lebih sempurna pengesaan kepada wujud Allah SWT melainkan oleh mereka para Nabi dan ‘Arifin.   

Dzikir yang kami maksudkan disini, bukanlah dzikir dalam melafadkan nama Allah sebanyak mungkin, tetapi dzikir dalam pentauhitan kepadaNya. Bukanlah dzikir daripada seseorang yang telah melafadzkan nama Allah  dalam bilangan yang banyak setiap hari, tanpa didasari kecintaan dan mengetahui esensi pengesaan kepada wujudNya. Dan tidak pula dimaksudkan kepada dzikir mereka yang menganggap seluruh kegiatan dalam agama di hitung sebagai dzikir. Karena dzikir yang demikian hannya mengandungi hikmah sebagai amal ibadah semata, tidak kepada pengesaan bagi wujud Allah SWT.  

Wahai saudaraku, oleh karenanya jika seseorang menanyakan hukum agama kepada para ahli ma'rifah, maka mereka akan menjawabnya dengan bersumber murni dari nur ilmu yang Allah berikan. Bukan dari desakan hawa nafsu dan juga bukan dari bisikan syetan.  Sehingga kemurnian ilmu Allah akan terjamin sampai kepada manusia secara utuh dan sempurna. 
 
Ruang Lingkup Ilmu Bagi Derajat Awam  
    
Saudaraku, tentunya keterangan terkait metode perolehan ilmu bagi ahli ma’rifah di atas, tidak sepenuhnya dapat diterima serta dipahami dengan baik oleh mereka  yang di bawah derajat Wali dan ‘Arifin. Sebagaimana Nabiyullah Musa a.s  tidak memahami segala tindakan Nabiyullah Khaidir a.s. Jangan salah paham contoh ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa Waliyullah dan ‘Arifin lebih tinggi derajatnya daripada Nabi Musa a.s. tidak demikian maksudnya, 
para Nabiyullah tetap lebih utama disisi Allah SWT dikarenakan oleh faktor nurbuat mereka, walaupun mereka tidak Allah bekali dengan ilmu-ilmu yang telah kami sebutkan di atas.  Karena adakalanya Allah SWT tidak memberikan ilmu laduni dan mukhasyafah kepada para nabi, dikarenakan telah Allah dampingi mereka dengan Jibril a.s, jika diperlukan. 

Kembali lagi ke pembahasan semula, Allah SWT menghendaki metode pemberian ilmu bagi mereka yang masih Allah tempatkan pada derajat awam,  melalui metode talaqqi atau belajar langsung kepada seseorang yang ‘alim dan terpercaya karena ia juga pernah belajar kepada gurunya yang ‘alim lagi terpercaya dan begitulah seterusnya, dengan  sanad  yang terjamin kesinambungannya kepada Rasulullah SAW, sebagai pembawa syari’at. Seperti sanad Aly, sanad yang jumlah orang-orang terlibat dalam mata rantai lebih sedikit dan kesemua orang tersebut adalah orang-orang tsiqah.  

Ilmu Sebagai Ma’lumat dan Ilmu Sebagai Derajat

Saudaraku ketahuilah, bahwa ilmu yang diperoleh melalui metode talaqqi adalah ilmu dalam bentuk ma’lumat, artinya berbagai informasi dan petunjuk mengenai tatacara beribadah dengan benar, mengenal Allah secara umum, mengetahui akhlak yang terpuji dan sebagainya.  Siapa saja memiliki akses mengetahui ilmu tersebut, bahkan mereka kaum orientalis yang kafir sekalipun.  Karena keutamaan ilmu sebagai ma’lumat tidak pada pegetahuannya, akan tetapi pada amalan ilmu tersebut.  Walaupun orang kafir mengetahui secara  mendalam kelompok ilmu jenis ini, namun tetap saja mereka tidak akan mulia disisi Allah SWT, karena kemuliaan datang dari pengamalan, bukan dengan hanya mengetahuinya saja. Tentunya mereka orientalis yang kafir tidak memenuhi syarat untuk mengamalkannya.  

Sejumlah keterangan hadist menjelaskan pahala yang begitu banyak bagi penuntut ilmu, itu adalah ilmu dalam bentuk ma’lumat seperti ini. Adapun ilmu sebagai derajat adalah ilmu tentang ma’rifah kepada Allah SWT,  tidak semua manusia dapat mengakses ilmu jenis ini.  Ia diperuntukkan khusus kepada siapa yang Allah kehendaki memperkenalkan diriNya kepada mereka. Ilmu Ma’rifah kepada Allah, adalah puncak dari segala ilmu.  Di akhirat kelak Allah SWT tidak akan menghisab orang yang telah Ia berikan ilmu dari sisiNya, yaitu mereka ahli ma’rifah. dan hal ini diperkuat lagi dengan sabda Nabi SAW, yaitu masuk surga dari umatku 70.000 orang tanpa hisab. Perlakuan istimewa tersebut Allah khususkan hanya kepada mereka ‘Arifin sebagian dari umat Nabi Muhammad SAW yang sangat dekat dengan Allah SWT dan mengetahui betul bagaimana sebenar Tuhan mereka tersebut. Oleh karenanya tidak ada golongan yang lebih sempurna berserah diri mereka kepada Allah selain mereka ‘Arifin.  

Mungkin semua ilmu islam telah dipelajari dan didalami oleh para orientalis, tetapi tidak untuk ilmu yang satu ini, ia adalah khusus kepada para ahli ma'rifah, ilmu tersebut adalah ilmu laduni. Ilmu jenis ini diperoleh melalui tahapan zuuk dan majdub. Makna zuuk pancaran nur ilmu dalam batin dan makna majdup dipilih mereka oleh Allah SWT secara langsung. Dengan kehendak dariNya, ada pendapat yang mengatakan, tidaklah mungkin wujud sebuah ilmu tanpa berguru terlebih dahulu, mestilah ilmu diperoleh dengan jalan talaqqi.  Karena ada ungkapan “Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah syaitan”.  Kami pikir, kita tidak perlu menanggapi secara serius ungkapan tersebut, karena ia tidak datang dari Hadist Nabi SAW, bukan perkataan Sahabat dan juga bukan perkataan para Imam Mazhab.  

Ungkapan yang demikian berasal dari ucapan sebagian para fuqaha’ yang mengkhawatirkan munculnya kekeliruan dalam memahami ilmu agama. Mereka menciptakan bid’ah dengan membuat hukum secara sepihak, melarang dan mengatakan tidak sah kepada mereka yang megambil ilmu dari membaca kitab secara langsung, membaca buku agama atau dengan memanfaatkan media lainnya sebagai tempat belajar hukum agama, walau dengan isi kandugan yang benar.   Syaitan tidak memiliki kuasa yang absolut untuk mengelirukan manusia, siapa yang Allah SWT kehendaki paham dalam ilmu agama pahamlah ia, tanpa kuasa syaitan menjerumuskannya. Lagi pula kekelirun dalam agama bukan disebabkan karena tidak memiliki guru, akan tetapi memang pada asalnya Allah SWT menghendaki akan yang demikian.  

Kalau memang begitu, lalu bagaimana dengan Wali dan ‘Arifin yang telahpun kita bahas di atas, mereka tidak mengambil ilmu laduni dan mukasyafah dari seorang guru, lantas bagaimana?, apakah kita berani mengatakan syaitan adalah guru mereka.  Kami  rasa sangat tidak bijak jika kita mengambil sikap yang demikian. Nabi SAW memang memerintahkan kita mengambil hukum agama dari seorang guru. Guru yang Nabi maksudkan disini tidak mesti melalui metode talaqqi, Nabi tidak mengatakan yang demikian. Maksud guru adalah pemberi petunjuk dan tuntunan, apakah memberi petunjuk secara langsung berhadapan, memberi petunjuk melalui tinggalan tulisan mereka di dalam kitab dan buku-bukunya, atau  memberi petunjuk melalui media masa yang lainnya. 

Motivasi para ‘Ulama dalam menulis kitab dan buku tidak lain hanya untuk menyebarluaskan ilmu Allah kepada siapa saja mukmin yang membutuhkannya, sebagai tutunan dalam kehidupan beragama mereka.  Sudah barang tentu mereka ‘Ulama tersebut telah mengijazahi siapa saja yang mengamalkannya, karena tujuan ilmu untuk diamalkan. Maka cara yang demikian sah diambil sebagai ilmu pengetahuan agama.  Tidaklah para ulama setelah menulis kitab dan buku serta menyebarkannya, kemudian mereka melarang membaca kitab tersebut, tidaklah demikian. Kalaupun ada yang tidak dipahami, ada keraguan dari isi  kitab dan buku tertentu, maka hendaklah si pembaca menanyakannya kepada orang  yang lebih  ‘alim.  Tetapi hal tersebut tidak sampai harus melarang dan menuduh mereka telah berguru kepada syaitan, karena setiap kitab dan buku menuliskan biografi siapa penulisnya dengan jelas, yang ia adalah manusia bukan syaitan.   

Adapun metode perolehan ilmu yang dilarang oleh Nabi kita Muhammad SAW, adalah dengan semata-mata menggunakan akal pikiran, tanpa bimbingan dalam bentuk apapun.  Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kami tegaskan kembali, bahwa hakikat ilmu bagi ahli ma’rifah adalah nur, bukan hasil hafalan dan juga bukan dari kuatnya ingatan.  Semoga Allah  SWT dengan kemurahanNya meluruskan kembali setiap pemahaman yang salah dari diri kita.