Pentingnya Mengetahui Ruang Lingkup Ma'rifah


Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan dimasa lalu adalah sikap positif yang semestinya ada pada setiap insan.  Kesalahan yang telah dilakukan oleh generasi terdahulu sepatutnya tidak di ulangi, pepatah melayu mengatakan jangan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali.  Tentunya sesuai dengan kehendak Allah SWT. sebagai Tuhan yang menciptakan manusia dan segala perbuatannya.  
 
Wahai saudaraku, dengan kehendakNya, pada masa terdahulu dalam perjalanan kegemilangan Islam telah terjadi aksi penentangan kepada ahli ma'rifah, dan penentangan tersebut masih tetap diwariskan sampai sekarang.  Penentangan didasarkan karena kesalahpahaman dan ketidakmengertiaan mereka orang awam kepada hal-hal yang dibicarakan dalam mejelis  ahli ma’rifah, seperti dalam majelisnya Abu Yazid Bustami, Syekh Juned Al-Baghdadi, Abu Husein Al Mansur, Syekhul Akbar Qutub Abu Muhyeddin Ibnu ‘Arabi dan lainnya.  Orang awam yang kami maksudkan disini adalah mereka yang masih Allah SWT tempatkan pada derajat ma’rifah terjauh dari padaNya, walau mereka yang telah dianggap sebagai ‘Ulama sekalipun di tengah masyarakat. (Baca pembahasan kami sebelumnya dalam Kajian Ma'rifatullah No. 01 Memahami Perbedaan Derajat Ma'rifah Disisi Allah)
 
Saudaraku, Allah SWT mengiradahkan kepada orang awam kesalahan, dengan megambil pemahaman secara sepihak dari apa yang mereka dengar dan baca dalam kitab-kitab para ahli ma’rifah, tanpa merujuk dan bertanya kembali kepada ahli ma'rifah atau pengikut daripadanya.  Dan hasil dari pemahaman yang salah tersebut mengakibatkan mereka menuduh sesat bahkan mengkafirkan para sufi tertentu, yang ternyata derajatnya disisi Allah SWT  sebagai Wali dan ‘Arifin.  Inilah kesalahan sangat fatal yang Allah SWT kehendaki atas mereka awam.   Oleh Karenanya jika Allah menghendaki sangat penting mengetahui ruang lingkup ma’rifah kepadaNya, agar terhindar bagi yang awam dari kesalahan.  Karena barang siapa menyakiti Waliyullah maka Allah SWT menyatakan  perang kepadanya. 
 
Ketahuilah, luasan pemahaman orang awam  tentang ilmu ma’rifah kepada Allah SWT hanya secara ‘am saja,  dalam batasan rumusan ‘itiqad lima puluh beserta syarah dan surah dari padanya.  Tetapi Allah SWT membekali para Wali dan ‘Arifin dengan kadar ilmu ma’rifah yang jauh melebihi dari apa yang dapat dibayangkan oleh mereka awam.  Tidak hanya sampai disitu, Allah SWT menambahkan Ilmu Mukasyafah dan Laduni kepada mereka, dan khusus kepada ‘Arifin dengan kemurahanNya dapat merasakan gerak takluk Qudrah dan Iradah Allah SWT.  
 
Wahai Saudaraku, sedikit kami jelaskan bahwa salah satu bentuk kemurahan terbesar Allah SWT kepada hamba, adalah dalam bentuk dicurahkanNya Ilmu Laduni dan Ilmu Mukhasyafah kepadanya.  Dengan ilmu laduni para Wali dan ‘Arifin mengetahui dengan pasti kebenaran yang sesungguhnya, karena sesuatu yang dianggap benar disisi mereka awam belum tentu benar di sisi Allah SWT. Para Wali dan ‘Arifin tidak memerlukan retorika rasional dan intelektualitas dalam menela’ah sesuatu masalah, karena Allah SWT telah mengiradahkan langsung pengetahuanNya kepada mereka, tanpa perlu usaha dalam bentuk apapun.  Dengan Ilmu Mukasyafah  telah membukakan oleh Allah SWT hijab kepada Wali dan ‘Arifin, sehingga ia menjadi Kasyaf.  Dengan kasyaf diperlihatkan secara langsung apa aja dari perbendaharan Allah SWT, seperti Luh Mahfud, Alam Kubur, Alam Arwah dan sebagainya.  Bahkan Allah SWT memperjalankan mereka Wali dan ‘Arifin kepada  alam tersebut.    
 
Wahai saudaraku, ma’rifahnya orang awam kepada
Allah SWT sama seperti ma’rifahnya masyarakat umum (awam) kepada ilmu matematika.  Orang awam mengetahui bahwa ruang lingkup ilmu matematika hanya berkaitan dengan penjumlahan, penambahan, pembagian, pegurangan, perkalian, mengitung rata-rata, menghitung persentase dan sebagainya.  Sedikitpun tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa ilmu matematika memiliki skup yang sangat luas, sebagai satu ilmu  pengetahuan yang telah memberi manfaat cukup banyak. Yang meliputi matematika analisis, aritmatika, geometri, aljabar, trigonometri, kalkulus (derest, limit, turunan, diferensial dan integral), statistika, aktuaria dan sebagainya. Penemuan pesawat terbang, kapal laut, peralatan komunikasi, satelit, teknologi pembangunan gedung bertingkat, jalan layang, hand phone, computer, mobil dan berbagai peralatan elektronik lainnya, yang kesemuanya dirancang oleh para ahli dengan memformulasikan di dalamnya ilmu matematika, fisika dan lain sebagainya.  
 
Sekarang kami ingin menanyakan, bagaimanakah tanggapan  masyarakat umum bila ada yang memberitahukan kepada mereka bahwa trigonometri dan kalkulus adalah bagian dari ilmu matematik, apakah mereka membenarkannya atau menolak lantaran mereka tidak pernah pengetahuinya.  Tentunya sikap yang paling bijak adalah membenarkannya walaupun mereka tidak mengetahui samasekali hal ihwal ilmu tersebut, namun mereka menyadari dan mengetahui melalui media informasi bahwa ilmu tersebut termasuk kedalam ruanglingkup ilmu matematika, dan para ilmuan telah memanfaatkannya dalam berbagai  penemuan mereka.   
 
Kesalahan Dimasa Lalu  
 
Saudaraku ketahuilah, dengan kehendak Allah SWT banyak spekulasi secara dini telah di buat di masa lalu, beberapa ‘Arifin telah menjadi korban dari spekulasi tersebut, diantaranya Syekh Husein Al-Mansur, Suhrawardi dan Dzunnun Al-Misri.  Dalam kesempatan ini kami hanya mengisahkan seorang  saja diantara mereka, yaitu dia yang ‘arif kepada Allah SWT, sangat fenomenal di kalangan kaum sufi, telah diberi stempel sebagai kafir oleh mereka awam dan jahil dan  digelari Al Hallaj, beliau tidak lain adalah Syekh Husein Al Mansur. Berikut kami sertakan dua kutipan singkat dari fakta sejarah skenario pembunuhan terhadap beliau:
 
Kutipan Fakta Sejarah Pertama
 
Eksekusi kepada al-Hallaj  atau Abu Husein Al Mansur adalah sejarah eksekusi yang paling brutal. Setelah dikurung lebih delapan tahun, sebelum dieksekusi dicambuk 1000 kali, dipukuli, disayat-sayat, dimutilasi, kemudian disalibkan.  Karena malaikat maut tak kunjung menjemput, esok hari lehernya dipenggal. Tubuh tanpa kepala disiram minyak dan dibakar. Abu jenazahnya dibawa ke menara pengintai, ditabur-taburkan agar dibawa lari angin dan jatuh hanyut ke aliran deras sungai Tigris.  Kepala tanpa tubuh dikirim ke Khurasan, sebuah kawasan pengikut setia beliau. 
 
Peristiwa biadab ini dilakukan di arena publik, di gerbang kota Baghdad yang selalu ramai sebagai pelintasan penduduk Baghdad atau pun para pendatang. Sejenak kita bisa bertanya, apa yang dilakukan oleh Abu Husein sampai ia disiksa dan dihukum mati dengan sadis?. Ia dibunuh karena dianggap misionaris Qaramithah -- sebuah kelompok yang melancarkan kudeta terhadap Dinasti Abbasiah -- oleh karena itu bentuk hukuman kepada beliau seperti mereka yang dituding musuh politik penguasa, disebut “hirabah”, ”bughat” dan pengacau sosial (al-fasad). Mereka dieksekusi, dipancung, dan disalib.  
 
Bagi murid-muridnya ajaran beliau mengajarkan ilmu tauhid paling tinggi. Pengaruh ajaran dan politik beliau membawa kekhawatiran dua kubu di penguasa pemerintah Abbasi. Pertama, kubu politik Dinasti Abbasi yang takut pengaruh beliau akan membawa bentuk pembangkangan baru, setelah sebelumnya pemerintahan ini didera berbagai pembangkangan politik seperti “Revolusi Negro”, Qaramithah, rongrongan Dinasti Fathimi yang beraliran Syiah Ismailiyah di Tunisia.  Mereka memiliki prasangka yang buruk terhadap  Abu Husein yang dikenal memiliki latar belakang keluarga dan pengikut yang masuk dalam kelompok oposan terhadap penguasa.  Kondisi politik dan ekonomi pemerintahan Abbasi saat itu sedang kacau, akibat pemberontakan di mana-mana yang menguras kas negara. Salah satu usaha yang dilakukan adalah menarik upeti dari rakyat dengan harga yang mencekik dan tak jarang melalui perampasan. Kedermawanan Abu Husein yang langsung membantu dan membagikan uang pada rakyat tanpa menyerahkannya ke kas negara (baitul mal) membuat penguasa marah.  
 
Kelompok kedua adalah ulama fiqh yang hidup dengan menyusu pada penguasa, yaitu ulama fiqh Maliki dan Dhahiri. Mereka pun melihat ajaran beliau mengancam doktrin agama dan sumber kehidupan mereka.  Abu Husein bersama kalangan sufi lainnya mengikusertakan ”makna batin” dari teks dan ajaran agama, sedangkan kalangan fiqh hanya menjelaskan ”makna lahir’ dari teks agama.  Dua kubu yang korup bersatu untuk menghancurkan beliau yang dituding bisa mengancam eksistensi mereka. Cara yang paling efektif untuk memojokkannya  dengan dua tuduhan: ia murtad dan zindiq yang berarti musuh agama, ia penganjur gerakan Qaramithah yang berarti ia musuh kerajaan. Tahun 297 H / 909 M keluar fatwa dari Muhammad bin Dawud ulama madzhab Dhahiri yang mengkafirkan beliau dengan tuduhan dia telah bersatu dengan Allah. 
 
Beliau ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Namun Ibn Suraij seorang ulama besar dari madzhab Syafii memberikan pembelaan dengan kata-katanya yang terkenal ”Aku melihatnya orang yang hafal al-Quran, dan memiliki pemahaman yang baik terhadapnya. Ia mahir dalam ilmu fiqh, ilmu hadis, sejarah, dan biografi, ia berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari, ia menangis dan berkata dengan ucapan yang tidak aku pahami, tapi aku tidak menganggapnya sebagai orang kafir” Pendapat Ibn Suraij ini mampu membantah pendapat Bin Dawud. Untuk sementara, Abu Husein selamat dari eksekusi. 
 
Setelah Ibn Suraij wafat, maka pembela beliau dari kalangan ulama fiqh yang berpengaruh sudah tidak ada. Kekacauan ekonomi dalam pemerintahan Abbasi menyebabkan krisis politik yang berujung bongkar-pasang kabinet menteri. Seorang menteri penjilat dan penarik upeti yang kejam diberi wewenang yang besar dalam keputusan politik. Ia bernama Hamid bin al-Abbas. Eksekusi yang gagal terhadap Abu Husein sebelumnya dirancang kembali.  
 
Hamid menyusun makar untuk menggelar sebuah pengadilan agama untuk Abu Husein yang dipimpinnya sendiri. Seorang ulama madzhab Hanbali bernama Ibn Atha’ yang simpati pada Abu Husein dipukuli sampai sekarat, setelah itu dipulangkan ke rumahnya dan meninggal.  Hamid dibantu Abu Umar bin al-Hamadi ulama fiqh dari Madzhab Maliki yang diketahui memiliki ambisi untuk menduduki posisi hakim-agung (qadli al-qudlat). 
 
Seorang ulama dari madzbab Hanafi Ibn Bahlul yang tampak enggan mengikuti persidangan diganti dengan hakim Hanafi lain yang mau bekerjasama. Sedangkan mayoritas ulama dari kalangan madzhab Syafii dan Hanbali memboikot persidangan. Mudah ditebak, akhirnya jatuh vonis hukuman mati untuk Abu Husein Al Mansur tanggal 25 Dzul Qa’dah tahun 309 Hijriah/26 Maret tahun 922 Masehi. Vonis dari sebuah pengadilan yang penuh rekayasa berasal dari aliansi kotor penguasa yang pengecut dan korup serta ulama yang jahat.
 
Kutipan Fakta Sejarah Kedua
 
Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar dari kalangan Ulama, yang mengambil sikap atas pandangan-pandangan Abu Husein, baik yang semasa dengannya atau sesudahnya.  Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. 
 
Menurut penelitian Syekh Abdul Qadir Mahmud, dalam kitabnya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mereka yang mengkafirkan Abu Husein, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Ibnu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby. 
 
Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal (Maturidiyah) Mereka yang mendukung dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf. Dari kalangan Filsuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. 
 
Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as Sulamy dan Al-Kalabadzy. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.  
 
Wahai saudaraku, perlu digaris bawahi fakta sejarah di atas menunjukkan moyoritas para ‘ulama dari Mazhab Syafi’i dan Hambali memboikot persidangan.  Syekh Husein Al Mansur adalah guru kepada Syekh Juned Al Baghdadi, beliau merupakan murid paling ‘alim dan disayangi.  Ketika vonis telah ditetapkan, sebelum eksekusi utusan khalifah datang menemui Syekh Juned, guna meminta persetujuan  mengeksekusi mati muridnya.  Dimasa pemerintahan Bani Abbassiah Syekh Juned sangat dihormati dan dimuliakan.  Beliau memilih tidak memberi pandapat apapun mengenai vonis tersebut.
 
Pihak kekhalifahan islam saat itu masih enggan dan ragu untuk melaksanakan eksekusi sebelum mendapat persetujuan dari beliau.  Dan utusan salanjutnyapun diutus oleh khalifah, namun Syekh Juned tetap  mengambil sikap yang sama hanya diam tidak memberi pendapat apapun.   Diamnya Nabi kita Muhammad SWA ketika melihat dan mendegar sesuatu menunjukkan persetujuan beliau.  Tetapi tidak demikian diamnya Syekh Juned Al Baghdadi ketika diminta persetujuan untuk mengeksekusi mati Husein Al Mansur. Beliau diam dikarenakan betapa tidak mungkin memberi pemahaman kepada mereka yang masih awam, yaitu para fuqaha’ dan khalifah di masa itu, bahwa sebenarnya apa yang diucapkan oleh Husein Al Mansur  dengan lisannya  “Ana Al Haq”  adalah suatu ungkapan pengesaan wujud Allah SWT yang sangat mendalam dari seorang yang telah dima’rifahkan olehNya (Baca Memahami Esesnsi Pengesaan Wujud Allah Oleh Para Ahli Ma’rifah).  
 
Di dalam hakikat kebenaran Syekh Juned mengatahui bahwa Husein Al Mansur tidak sepatutnya dihukum karena telah baga’ dalam kewujudan Tuhannya.  Orang awam tidak akan pernah mengerti bahasa ma’rifat dan tidak akan pernah mengetahui batasan-batasan ma’rifat sesungguhnya, karena diri mereka masih Allah SWT tempatkan pada tempat terjauh dari ma’rifah kepadaNya. Orang awam menghukum segala sesuatu hanya menurut ukuran ilmu lahiriah yang ada padanya.    
 
Akhirnya untuk mengakhiri polimik yang berkepanjangan, Syekh Junedpun memberi pendapat bahwa “Husein Al Mansur tersalah pada Syari’at, tetapi pada hakikat hanya Allah yang mengetahui”.  Pernyataan tersebut ditulis dan diserahkan kepada utusan khalifah yang untuk ketiga kalinya datang menemui beliau.   Baru sesudah itu eksekusi kejam dilaksanakan.
 
Ruang Lingkup Ma’rifah Kepada Allah SWT.  
 
Saudaraku sekalian, telah kami paparkan di atas kesalahan fatal yang telah diperbuat oleh generasi islam terdahulu, karena Allah SWT tidak  memberikan kepada mereka pengetahuan mengenai sejauh mana ruang lingkup ma’rifah kepadaNya.  Mengetahui ruanglingkup ma’rifah tidak berarti seseorang mesti dima’rifahkan terlebih dahulu  oleh Allah SWT, tetapi cukup dengan Allah iradahkan baginya mencari tahu dari para ahli ma’rifah sejauhmana ruang lingkup ma’rifah sebenar atau melalui kitab-kitab ilmu ma’rifah yang mereka tinggalkan.    
 
Dalam tulisan kami sebelumnya berjudul Memahami Perbedaan Derajat Ma’rifah, telah menguraikan bagaimana Allah SWT menempatkan hambanya ke dalam 5 derajat ma’rifah yang berbeda, yaitu jahil, awam, salik, wali dan ‘arifin.   kesemua derajat masuk ke dalam batasan ruang lingkup ma’rifah. Dalam tulisan tersebut kami menggambarkan bagaimana seseorang yang jahil tidak merasakan sama sekali kehadiran  Allah SWT dalam kehidupannya. Dan bagaimana seorang ‘Arifin yang justru sebaliknya merasakan kehadiran Allah dalam segenab gerak dan isyarah mereka, merasakan tiada wujud diri, yang ada hanya Allah SWT.   
 
Ketahuilah, ma’rifah dimaksudkan untuk tercapainya adab-adab dan akhlak kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang menjadikan langit dan bumi berserta isinya. Tidak diutus para rasul melainkan untuk memperbaiki akhlak manusia, baik kepada sesesama dan terlebih lagi kepada Tuhannya. Dan tidaklah dikatakan manusia beradab dan berakhlak kepada Tuhannya, jika masih mempersekutukan Ia pada zat, sifat dan perbuatanNya, baik dengan lisan, ‘itiqad, atau dengan sikap dan perbuatan. Saudaraku, ilmu tasawuf tidak hanya membicarakan akhlak manusia kepada manusia, tetapi lebih jauh lagi membicarakan akhlak manusia kepada Tuhannya.  Selama manusia masih terhijab dalam memandang kebesaran Allah, masih melihat ada yang berbuat selain Allah, maka selama itu pula mereka masih belum lepas dari mempersekutukanNya. 
 
Hikmah dijadikannya manusia tidak hanya untuk menyembah Allah SWT saja, tetapi jauh sebelum itu wajib mengenalNya terlebih dahulu.  Inti dari ajaran tasawuf adalah tauhid (mengesakan Allah) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Syibli ketika ditanya apa tasawuf itu? Beliau menjawab “Permulaannya adalah ma’rifatullah dan puncaknya adalah mentauhidkan-Nya”.  Namun dalam perkembangannya, dengan kehendak Allah SWT ilmu tasawuf dipisahkan menjadi dua jenis ilmu yang berbeda oleh mereka awam yang tidak paham dengan inti ilmu tasawuf sebenar.  
 
Ketahuilah, banyak dari mereka awam beranggapan ilmu tasawuf hanya sebagai ilmu pelengkap dalam islam, yang membicarakan hubungan manusia dengan manusia, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, beribadah dengan amalan thariqah dan sebagainya.  Ketika para ‘Arifin, ahli ma’rifah dan sufi besar seperti Abu Yazid Bustami, Husein Al Mansur, Syekhul Akbar Ibnu ‘arabi membicarakan  hal-hal lain dari khasanah kema’rifatan mereka, yang berkaitan dengan wujud Allah, sifat dan perbuatanNya, dengan bahasa ahli ma’rifah yang sulit dimengerti.  Maka dengan kehendaknya mereka awam berkesimpulan hal tersebut sudah keluar dari batasan ilmu tasawuf. Dan mereka menuduh para sufi telah mengada-adakan yang tidak ada dalam agama (bid’ah), karena menganggap apa yang mereka sampaikan merupakan hasil dari pikiran mereka semata.  Mereka memberi gelar kepada para sufi tersebut sebagai pemikir islam (Filofof) dan ilmu yang disampaikan disebut dengan Filsafat Islam.
 
Terlihat jelas keawaman mereka karena tidak dapat membedakan Ahli Ma’rifah dengan Filosof. Untuk mengetahui perbedaan keduanya mohon dibaca tulisan kami sebelumnya, Memahami Esensi Pengesaan Wujud Allah SWT. Saudaraku, setelah mereka menyamakan para ahli ma’rifahtullah dengan para filosof, dengan kehendakNya usaha mereka berlanjut kepada membagi ilmu tasawuf menjadi dua Tasawuf Akhlaki dan Tasawuf Falasafi, dengan alasan mereka sebagai berikut:
 
Tasawuf Akhlaki disebut juga dengan tasawuf sunni, karena orang sunni atau aswaja mengklem bahwa jalan tasawuf inilah yang benar untuk dijalani, amalannya sebagai mana yang telah diuraikan oleh Imam Al Ghazali di dalam Ihya ‘Ulumuddin.  Tasawuf Falasafi termasuk didalamnya tasawuf ‘irfani adalah jalan mereka yang telah keluar dari garisan tasawuf akhlaki, karena tidak lagi membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan  akhlak manusia kepada manusia. Tetapi lebih kepada hal-hal yang berkaitan dengan akhlak manusia kepada Allah SWT, dengan ungkapan-ungkapan yang susah dipahami oleh orang awam. Seperti ungkapan dalam Futuhatul Makiyyah, Fushul Hikam dan lain sebagainya. Karena menganggap ungkapan para sufi besar sebagai hasil dari falsafah pemikiran mereka, maka dinamakanlah ilmu para ahli ma’rifah sebagai ilmu tasawuf falasafi. 
 
Ketahuilah wahai saudaraku, sebenarnya Allah SWT adakalanya mema’rifahkan manusia secara bertahap dan adakala secara sempurna dan ada kalanya menetapkan sebagian mereka pada derajat semula.  Bagi mereka yang Allah tempatkan pada derajat salik, tuntunan baginya sebagaimana yang terkandung dalam kitab Abu Hamid Ihya ‘Ulumuddin. Dan untuk yang mulai diangkat hijab kemakhlukan darinya dan mulai diperjalankan pada jalan ma’rifah kepadaNya, mereka yang telah ditempatkan pada derajat ‘arifin permulaan, maka tuntunan baginya sebagaimana yang terkandung dalam Al Hikam Ibnu Athaillah Askandari.  Dan seterusnya bagi mereka ‘Arifin yang sempurna  maka tuntunan baginya sebagaimana yang terkandung dalam Futuhatul Makkiyyah Abu Muhyeddin Ibnu ‘Arabi.  
 
Oleh karena itu ilmu tasawuf sebenarnya adalah satu kesatuan yang utuh yang tidak terpecah kepada akhlaki dan falasafi.  Terkadang orang awam tidak menyadari perbedaan derajat ma’rifah yang ada, sehingga beranggapan kepada mereka yang berada di atas derajatnya, telah keluar dari batasan tasawuf.  Pada hal pembahasan menyangkut ma’rifatullah adalah bagian tertinggi dalam pembahasan ilmu tasawuf itu sendiri, tentunya bagi mereka yang telah dima’rifahkan oleh Allah SWT kepadaNya dengan kadar ma’rifah yang sempurna. 
 
Mengenai bahasa yang sulit dimengerti mesti  dikembalikan lagi kepada mereka, tidak boleh dipahami secara tekstual semata menurut orang awam.  Tentunya akan berbeda,  justru disitu kita mesti memaklumi seluk beluk ma’rifah dan tidak sebalik mengeluarkan mereka dari lingkungan tasawuf.  Akhirnya kita menyadari bahwa Allah SWT mendudukkan manusia pada dudukan yang berbeda disisiNya.   Berbeda tempat dudukan tidak berarti seseorang menjadi asing dalam agama, tetapi kita mesti melihatnya sebagai satu kemurahan Allah kepada hambanya.  Disini letak pentingnya mengetahui ruang lingkup ma’rifah berserta orang-orang yang telah Allah dudukkan di dalamnya, supaya kita dapat bertoleransi dan terhindar dari kesalahan, semoga Allah SWT menghendaki yang demikian.